TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bekas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan melalui proses di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ahok menjelaskan alasan dirinya menolak.
Menurutnya, pada zaman Orde Baru, Indonesia pernah menjalankan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota DPRD.
Hasilnya, rakyat hanya menjadi penonton dan tidak peduli terhadap pemilihan.
“Memang dari dulu saya tolak,” kata Ahok, dikutip dari laporan jurnalis Kompas TV, Iksan Apriansyah, Kamis (2/1/2025).
“Alasan paling penting, kan kita pernah ngalamin (di) zaman Orde Baru, hasilnya apa? Rakyat kan cuma jadi penonton, nggak peduli.”
Pemilihan kepala daerah dengan cara dipilih oleh anggota DPRD, menurut Ahok hanya akan mengakomodir kesepakatan antar ketua umum partai politik.
“Kita cuma deal-dealan sesama ketua umum partai. Deal-dealan juga bisa pakai duit juga, oknum DPRD dibagi, diatur, atau diancam untuk orang tertentu yang sudah ditentukan," kata Ahok.
Bahlil beri solusi
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia kembali mengusulkan adanya perubahan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari dipilih secara langsung menjadi dipilih DPRD.
Dia mengusulkan formulasi yang bisa dipakai negara ke depannya.
Bahlil mengatakan perubahan sistem pilkada ini bisa berlaku dari tingkat gubernur, walikota hingga bupati.
Namun, pemilihan presiden (Pilpres) tetap dilakukan secara langsung.
Menurutnya kandidat kepala daerah yang akan dipilih DPRD nantinya harus memiliki survei yang tinggi di masyarakat.
Dengan begitu, tidak boleh sembarangan orang untuk maju.