TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensa) mengingatkan masyarakat agar dapat menilai partai politik mana yang seharusnya dipertahankan pasca Mahkamah Konstitusi hapus syarat ambang batas pencalonan presiden dari 20 persen.
Hensa menekankan, partai politik yang layak dipertahankan adalah mereka yang berani mengajukan kader untuk Pilpres 2029 menyusul adanya syarat tersebut.
Baca juga: Kata Eks Capres soal MK Hapus Presidential Threshold: Anies Puji Penggugat, Ganjar Singgung Partai
"Menurut saya, dengan keputusan MK nol persen untuk pencalonan presiden, maka partai-partai politik yang layak dipertahankan oleh masyarakat adalah memang partai politik yang berani mengajukan kadernya di Pilpres 2029," kata Hensa, Senin (6/1/2025).
Hensa pun mendorong partai-partai politik untuk mulai mengembangkan kader-kader terbaik mereka sejak saat ini dan memberikan investasi elektoral yang diperlukan.
Sebab, ia berpendapat, salah satu syarat calon presiden adalah harus memiliki investasi elektoral, dan tidak semua tokoh di partai politik memiliki tabungan elektoral tersebut.
"Mulai saat ini para parpol harus groom (menyiapkan) kader-kader terbaiknya dari sekarang, berikanlah mereka investasi-investasi elektoral supaya di 2029 nanti bisa jadi calon presiden yang bisa menantang Prabowo," ujarnya.
Menurut Hensa, proses saling menantang dalam demokrasi, dalam hal ini kontestasi Pilpres, adalah hal yang sehat dan wajar.
Oleh karena itu, ia menilai, partai politik tidak boleh menjadikan ketakutan untuk kalah sebagai alasan untuk tidak mencalonkan kader mereka.
Baca juga: Gerindra Tegaskan Siap Patuhi Putusan MK Hapus Presidential Threshold
"Jangan sampai kemudian banyak partai politik yang tidak punya calon dengan alasan sebetulnya mereka punya kader tapi tidak berani saja mencalonkan diri kadernya, mencalonkan kadernya karena takut kalah atau karena takut tidak kebagian kekuasaan," kata Hensa.
Lebih lanjut, Hensa menyuarakan bahwa partai politik perlu memiliki keberanian untuk mendorong kader-kader mereka sebagai calon pemimpin nasional.
Jika banyak partai tidak berani mencalonkan kadernya dengan alasan takut kalah atau tidak mendapatkan kekuasaan, ia berpendapat bahwa keberadaan partai tersebut sebaiknya dievaluasi.
"Jadi partai politik harus berani mengkader, mempersiapkan kadernya untuk maju di peralatan Pilpres 2029. Itu baru partai politik yang berani. Kalau ada partai politik yang tidak berani, mendingan kita saja, masyarakat, rakyat, karena partai politik juga mendapatkan bantuan keuangan negara," ujar Hensa.
"Tapi kalau ternyata mereka tidak berani mendorong kader-kadernya sebagai calon pemimpin nasional, lebih baik kita doain aja supaya partai politik itu bubar," tandasnya.
MK Hapus Presidential Threshold
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.
"Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya
Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
"Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil," kata Saldi.