Komisi III DPR Minta Bawas MA dan KY Usut Kejanggalan Prosedural Putusan Kasus Korupsi Alex Denni

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Acos Abdul Qodir
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung Mahkamah Agung
Gedung Mahkamah Agung

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus korupsi yang melibatkan Alex Denni, mantan Deputi Kementerian PANRB, kembali mencuat setelah Komisi III DPR RI menemukan sejumlahkejanggalan prosedural dalam putusan kasasi yang dijatuhkan terhadapnya.

Ketua Komisi III, Habiburokhman, secara tegas mencurigai adanya dugaan pemalsuan dalam proses hukum yang dijalani Alex Denni.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dihadiri oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan keluarga Alex Denni beberapa waktu lalu, Habiburokhman mengungkapkan dugaan pemalsuan putusan perkara Alex Denny.

“Ada dugaan pemalsuan putusan karena ada orang meninggal bisa tanda tangan. Itu kan enggak mungkin kalau enggak palsu,” kata dia, dalam rilisnya Senin (3/3/2025).

Dari RDPU itu, Komisi III DPR RI memutuskan akan meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk mengusut tuntas kejanggalan prosedural dalam kasus Alex Denni. 

“Khususnya terkait hakim yang telah meninggal dunia namun tercatat menandatangani putusan serta mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh agar tidak terjadi kembali disparitas putusan,” kata Lola Nelria Oktavia, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, yang membacakan keputusan RDPU. 

Baca juga: Dirut Pertamina Sampaikan Maaf Buntut Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak: Ini Ujian Besar

Kasus ini bermula dari Alex Denni sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Parardhya Mitra Karti dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara 1 tahun dalam perkara korupsi proyek pengadaan proyek Distinct Job Manual (DJM) di PT Telkom.

Hal itu sebagaimana putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung bernomor 1460/PID/B/2006/PN.BDG, diperkuat Pengadilan Tinggi (PT) dengan nomor putusan 166/PID/2008/PT.BDG dan 163.K/Pid.Sus/2013 di tahap kasasi. 

Meski putusan kasasi sudah dikeluarkan pada 2013, namun eksekusi baru dilakukan pada 2024, hingga memicu sorotan PBHI.

Menurut PBHI, dalam proses hukum tersebut ditemukan adanya nama hakim yang sudah meninggal dunia pada 7 September 2013, namun tercatat menandatangani putusan yang baru diumumkan pada 14 November 2013. 

"Bagaimana bisa putusan yang diumumkan pada Juni 2013 baru ditandatangani enam bulan setelahnya? Ini jelas tidak sah," kata Ketua PBHI, Julius Ibrani.

Tak hanya itu, PBHI juga menemukan fakta bahwa Alex Denni tidak menerima salinan putusan kasasi dan pemberitahuan resmi mengenai putusan tersebut sejak 2013. 

Tercatat bahwa hanya putusan kasasi Alex Denni yang dipublikasikan, sementara dua putusan di tingkat pertama dan banding tidak ada dalam publikasi resmi.

Lebih lanjut, Julius mengungkapkan bahwa salah satu hakim dalam perkara ini, Imron Anwari, berasal dari Peradilan Militer. 

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini