TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang mengajukan gugatan terhadap Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para mahasiswa menyoroti tingginya jumlah calon anggota legislatif (caleg) yang tidak berdomisili di daerah pemilihannya (dapil).
Gugatan ini diajukan setelah data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa 3.387 atau 59,53 persen caleg dalam Pemilu Legislatif 2019-2024 berasal dari luar dapilnya.
Sidang pendahuluan perkara dengan Nomor 7/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani pada Rabu (5/3/2025).
Perwakilan Pemohon, Ahmad Syarif Hidayatullah, mengungkapkan bahwa sebanyak 1.294 caleg pada Pemilu 2024 tidak memiliki keterkaitan dengan dapilnya, baik dari segi domisili, tempat lahir, maupun riwayat pendidikan.
Sementara itu, sebanyak 3.605 caleg atau 36,4 persen dari total Daftar Calon Tetap (DCT) tinggal di luar dapil, tidak lahir di kabupaten/kota dapilnya, serta tidak pernah bersekolah di wilayah tersebut.
Mereka inilah yang dianggap tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan dapilnya.
Baca juga: Semua Anggota Komisi XI DPR Kecipratan Dana CSR BI, Disebut untuk Sosialisasi Dapil Lewat Yayasan
“Sebagai pembanding, dalam konteks pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), terdapat ketentuan bahwa calon anggota DPD harus merupakan penduduk yang berdomisili di wilayah daerah pemilihan yang bersangkutan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa keterwakilan daerah dalam lembaga perwakilan negara diatur dengan mengutamakan keterkaitan calon dengan daerah yang diwakili,” ujar Syarif yang menghadiri persidangan secara daring.
Para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka mengusulkan agar aturan tersebut diubah sehingga mengharuskan caleg bertempat tinggal di dapil yang mereka wakili minimal lima tahun sebelum pencalonan, dibuktikan dengan KTP.
Nasihat Hakim MK
Dalam sidang, hakim menyarankan agar Pemohon memperkuat argumentasi hukum dengan kajian yang lebih mendalam, bukan sekadar mengandalkan survei atau statistik.
Selain itu, kurangnya kejelasan dalam dasar pengujian terhadap UUD 1945 serta kedudukan hukum Pemohon dalam gugatan ini juga menjadi sorotan.
Wakil Ketua MK Saldi Isra juga menegaskan bahwa Pemohon harus menjelaskan dengan rinci pasal mana dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian.
Ia meminta agar Pemohon memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari dan menyerahkannya ke Kepaniteraan MK paling lambat Selasa, 18 Maret 2025.
“Sebab, kerugian hak konstitusional itu harus jelas. Bunyi pasal yang diuji tidak kelihatan, dasar pengujiannya ke UUD (NRI 1945) itu pasal berapa? Dan diuji terhadap pasal berapa dalam UUD 1945? Sementara Pasal 28C ayat (1) dan 28H ayat (2) itu merupakan legal standing Pemohon dalam mengajukan permohonan. Sedangkan pasal yang diuji ini bertentangan dengan pasal-pasal mana yang menjadi dasar pengujiannya? Jika ini tidak ada, maka tidak ada alasannya dan tidak bisa dinilai konstitusional atau tidak,” jelas Saldi.