Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mewaspadai potensi gagal bayar utangnya yang mencapai 28,4 triliun dolar AS. Bila dikonversi menjadi Rupiah, nilai tersebut setara dengan Rp405 ribu triliun (asumsi kurs dolar AS: Rp14.276).
Konsekuensi besar jika mereka gagal meloloskan plafon atau batas utang sebelum 18 Oktober 2021, diprediksi bakal terjadi bencana ekonomi di negara tersebut dan berdampak terhadap global.
Lalu bagaimana nasib utang Indonesia sekarang ini?
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, utang Indonesia saat ini sebenarnya cukup berisiko.
Sebelum adanya pandemi, beban bunga utang saja sudah mencapai 19 persen dari total penerimaan pajak.
Bahkan, angkanya juga terus naik. Kemudian Debt To Service Ratio yang mengukur kemampuan bayar utang juga masih punya risiko melebar.
Baca juga: Gagal Bayar Utang Sudah di Depan Mata, AS Terancam Resesi, Janet Yellen: Waktunya 2 Pekan Lagi
“Tahun 2022, yang jelas ada kenaikan inflasi, ada fluktuasi kurs rupiah hingga tren kenaikan suku bunga. Tiga faktor itu bisa menambah beban utang sehingga rasio utangnya makin mendekati 60 persen dalam 2-3 tahun kedepan,” ucap Bhima saat dihubungi Tribunnews belum lama ini.
Baca juga: Peringatan Ekonom: Bunga Utang Indonesia Sudah di Ambang Bahaya
“Kalau debt ceiling-nya tembus 60 persen, maka nanti khawatirnya akan ada usulan untuk revisi UU Keuangan Negara 2003, memperlebar batas rasio utang yang diperbolehkan. Itu tanda fiskal kita sakit,” sambungnya.
Bhima kembali mengatakan, dengan adanya kasus yang dialami oleh Amerika Serikat terkait potensi gagal bayar, Pemerintah harus menjadikan kasus tersebut sebagai pembelajaran.
Baca juga: AS Terancam Gagal Bayar Utang Senilai Rp 400 Ribu Triliun, Apa Dampaknya untuk RI?
Menurutnya, kedepan Pemerintah Indonesia perlu disiplin soal belanja khususnya belanja yang sifatnya konsumtif mulai dari belanja pegawai, belanja barang pemerintah pusat sampai Pemerintah Daerah.
Tak hanya sampai di situ, terkait penerimaan pajak perlu didorong lagi.
“Penerimaan pajak perlu didorong tapi asas keadilan nya juga ditunjukkan melalui kenaikan tarif dan kepatuhan wajib pajak kelompok pendapatan teratas. Jangan juga untuk kejar rasio pajak tinggi yang disasar justru kelas menengah bawah,” jelas Bhima.
“Soal bunga utang, pemerintah sebaiknya cari instrumen utang yang bunga nya lebih rendah dan relatif tidak terdampak fluktuasi dollar,” pungkasnya.
Seperti dilansir Kontan, utang Pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin semakin menggunung.
Pemerintahan Jokowi perlu mengerem penambah utang agar utang Indonesia tidak terus meningkat dan membebani APBN.
Berdasarkan publikasi di APBN KiTa September 2021, jumlah utang Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin per akhir Agustus 2021 sebesar Rp6.625,43 triliun. Jumlah utang Indonesia tersebut meningkat Rp 55,27 triliun dari posisi Juli 2021.