TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menurut Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang jalan tol, bahu jalan adalah jalur khusus darurat.
Namun pada kenyataannya, jalur yang berada paling kiri tersebut sering digunakan pengemudi untuk mendahului kendaraan lain atau malah jadi jalur alternatif.
Misalnya saat arus keluar Jakarta via tol Jakarta-Cikampek pada hari Lebaran kedua, Kamis (7/7/2016), terpantau bahu jalan dipakai seolah-olah peruntukannya memang buat umum.
Saat itu kondisinya memang empat jalur utama sudah dipenuhi kendaraan. Saat itulah biasanya pengemudi tergoda melihat bahu jalan yang lowong.
Volume kendaraan terlalu tinggi, bahkan walaupun bahu jalan sudah dipakai ramai-ramai masih tetap macet. Dampaknya, jadi masalah ketika ambulan lewat sebab aksesnya terhambat.
“Pada prinsipnya itu jalur untuk darurat dan kami juga sering operasi untuk penertiban. Namun dalam kondisi seperti ini mereka akan memanfaatkan semua jalur. Ini antara suplai dan permintaan harus seimbang,” kata Florisco Siahaan Deputy General Manager Tol Collection Cabang Jakarta-Cikampek Jasa Marga, Kamis (7/7/2016).
Pemakaian bahu jalan untuk keadaan bukan darurat bukan cuma terjadi saat arus mudik, pada hari biasa pun banyak pengemudi yang tidak beretika.
Masih ingat cerita tewasnya off-roader Fathkun Nadjib di KM 97 tol Cipularang arah Jakarta pada akhir 2014 lalu?
Saat itu Fatkhun ingin menolong korban kecelakaan di mikrobus di bahu jalan. Niat baik malah jadi petaka sebab dia tersambar mobil "teroris bahu jalan" yang melaju kencang.
Logika di jalan tol, semakin ke kanan jalur maka kecepatan kendaraan seharusnya semakin tinggi. Tapi yang terjadi malah terbalik, di jalur paling kiri, bahu jalan, pengemudi malah ngebut.