TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia sudah menetapkan standar emisi gas buang Euro III untuk sepeda motor dan Euro IV untuk mobil.
Namun, pemerintah masih saja menyediakan bahan bakar oktan rendah yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan teknologi mesin kendaraan bermotor, baik sepeda motor atau mobil zaman sekarang.
Kesimpulan ini disampaikan Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal), dalam diskusi bertema "Pengendalian Pencemaran Udara Terganjal Kualitas BBM" di sekretariat KPBB, Sarinah, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
"Konsekuensi dari penerapan standar Euro 2, kini semua varian sepeda motor dan mobil memiliki rasio kompresi minimal 9:1," ujar pria yang juga akrab disapa Puput tersebut.
Puput juga menjelaskan, kendaraan kecil sekelas sepeda motor matik berkapasitas 110 cc, memiliki rasio kompresi 9,2:1.
Baca: Heboh Pria di Kalbar Nikahi Dua Wanita Sekaligus dengan Mahar Rp 10.000, Alasannya Mengharukan
Mobil murah atau LCGC, juga MPV kelas 1.500 cc ke bawah, memiliki rasio kompresi 10:1.
Sementara mobil kelas menengah dan mewah, rasio kompresinya mulai dari 11:1 hingga 12:1.
Baca: Terkenal Tiketnya yang Murah, Bioskop XXI Taman Ismail Marzuki Harus Tutup karena Revitalisasi
"Kendaraan dengan rasio kompresi 9:1 membutuhkan bensin dengan RON minimal 91. Sedangkan kendaraan dengan rasio kompresi 10:1 ke atas, membutuhkan bensin dengan RON minimal 95," kata Puput.
Puput menambahkan, jika dipaksakan, maka kendaraan memang tetap bisa beroperasi, tetapi menimbulkan efek mengelitik atau knocking di mesin.
Baca: Kabin Toyota HiAce Ini Tampil Mewah dan Elegan di Tangan BAV Luxury Auto Design
"Mesin yang mengelitik akan menjadi tidak bertenaga, karena bensin dengan RON lebih rendah dari kebutuhan mesinnya akan terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin (self ignition) tanpa didahului percikan api busi," ujar Puput.
Kondisi self ignition ini yang dibilang Puput dapat menyebabkan bensin lebih boros sekitar 20 persen, karena terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga, sehingga, untuk menempuh jarak tertentu membutuhkan bensin lebih banyak.
"Borosnya bensin ini juga meningkatkan emisi, baik emisi rumah kaca (CO2), maupun emisi pencemaran udara, seperti PM, HC, CO, NOx, dan SOx," kata Puput.
Efek samping yang terakhir adalah terjadinya detonasi yang menyebabkan keretakan piston, kerusakan ring piston, busi, dan lainnya, karena efek self ignition.
Penulis : Donny Dwisatryo Priyantoro
Artikel ini tayang di Kompas.com dengan judulĀ Kendaraan Konsumsi Premium dan Pertalite Bisa Lebih Boros