TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peta jalan atau kebijakan pengembangan kendaraan listrik (Low Carbon Emission Vehicle/LCEV) di Indonesia sudah ditetapkan pemerintah dan akan segera diterapkan.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong industri otomotif Indonesia menuju era elektrifikasi.
Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Shodiq Wicaksono mengatakan, peralihan penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik bisa berlangsung secara alami di sisi masyarakat maupun industri karena ada banyak faktor yang mempengaruhi.
“Contohnya dahulu masyarakat Indonesia menggunakan mobil bertransmisi manual, namun untuk mengenalkannya ke transmisi otomatis dilakukan edukasi oleh APM secara alamiah sampai akhirnya mereka beralih sendiri. Begitu juga dengan EV ini mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan transisi secara alamiah,” ujar Shodiq saat menjadi pembicara di webinar Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) secara daring, Jumat (15/10/2021).
Ia menilai strategi peralihan secara alamiah terbukti berhasil diterapkan pemerintah dalam upaya menurunkan emisi karbon melalui produksi Low Cost Green Car (LCGC) yang dilakukan pada 2013.
“Sampai saat ini kontribusi penjualan LCGC terhadap total penjualan kendaraan nasional bisa bertahan di angka 20 persen. Jadi memang stepping menuju pure EV itu perlu dilakukan secara alamiah,” jelas Shodiq.
Seperti diketahui, sebelum industri nasional bisa memproduksi baterai kendaraan listrik sendiri, ada dua teknologi lain yang bisa dijadikan tahapan menuju kendaraan listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV), yaitu HEV (Hybrid Electric Vehicle) dan PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle).
Baca juga: Asosiasi: Penyelenggaraan Gaikindo Jadi Katalis Penjualan Otomotif Nasional
“Seberapa cepat kita bisa menuju BEV tergantung kesiapan para stakeholder. Kalau baterai kendaraan listrik yang murah bisa tersedia dengan cepat, dan insentif pembelian atau penjualan BEV bisa diberikan dengan baik maka prosesnya bisa lebih cepat. Artinya ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum mencapai ke BEV,” kata Shodiq.
Gaikindo juga mencatat ada beberapa tantangan yang akan terjadi jika Indonesia tidak melalui tahapan alamiah menuju BEV.
Tantangan utama adalah harga jual BEV yang tersedia di Indonesia saat ini masih tergolong mahal alias masih di angka Rp 600 juta lebih.
“Sementara daya beli masyarakat Indonesia untuk kendaraan itu masih sekitar di bawah Rp 300 juta. Ada gap Rp 300 juta yang perlu diperhatikan. Kalau ada teknologi baterai yang bisa cepat diproduksi di dalam negeri dengan lebih murah dan efisien, maka harga EV akan lebih murah karena sekitar 40-60 persen harga mobil listrik itu berasal dari baterai,” paparnya.
Sementara itu, terkait dengan peralihan paradigma kendaraan bermesin menuju kendaraan listrik menurut Gaikindo sebaiknya juga tidak mengganggu industri pendukung otomotif lainnya.
Sebab Shodiq mencatat setidaknya ada 1,5 juta karyawan yang bekerja di industri pendukung otomotif Tier 1 sampai Tier 3 yang perlu diperhatikan karena akan terdampak kebijakan mobil listrik tersebut.
“Perlu ada transisi teknologi untuk meminimalisir dampak perubahan struktur industri supplier sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami, bisa cepat atau lambat tetapi sebaiknya mengakomodasi semua pihak,” ujar Shodiq.
Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) juga mengamininya. Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hamdhani Dzulkarnaen Salim memperkirakan, sekitar 47 persen perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik.
“Terutama perusahaan yang yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya, kemudian produsen transmisi juga akan terpengaruh, yang memproduksi tangki dan filter BBM serta oli, sampai exhaust valve pasti akan terpengaruh,” kata Hamdhani.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gaikindo Sebut Peralihan ke Kendaraan Listrik Bisa Dilakukan secara Alamiah"