TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia berencana menyetop penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar bensin mulai tahun 2040.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyatakan, pemerintah sebenarnya belum siap sama sekali menggantikan kendaraan bahan bakar minyak (BBM) dengan listrik.
Dia menjelaskan, indikasi ketidaksiapan pemerintah untuk sementara ini yakni karena belum ada manufaktur kendaraan listrik di Indonesia, motor maupun mobil.
"Pabrik baterai baru dimulai, dan infrastruktur (kendaraan listrik) di seluruh wilayah Indonesia belum ada sama sekali," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribun, Minggu (17/10/2021).
Kemudian, lanjut Fahmy, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai pada 12 Agustus 2019 dinilai belum efektif.
Sebab, aturan terkait kendaraan listrik tersebut belum mampu banyak mendorong investor dalam menghasilkan mobil dan motor listrik.
"Industri juga belum siap, bahkan ada resistensi existing manufaktur terhadap mobil listrik masih sangat kuat. Apalagi harga jual mobil listrik akan lebih mahal ketimbang mobil berbahan bakar fosil," katanya.
Selain itu, dia menambahkan, jika mobil listrik hanya menggantikan versi kendaraan berbahan bakar bensin sebagai substitusi, maka pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi tidak banyak.
Menurut Fahmy, tidak mudah bagi pemerintah untuk mengubah perilaku masyarakat dalam penggunaan mobil listrik.
Baca juga: Era Kendaraan Listrik, PLN Targetkan 113 SPKLU Beroperasi Tahun Ini
"Sebaiknya jangan memaksakan menjadikan mobil listrik sebagai substitusi mobil berbahan bakar fosil, lebih baik keduanya merupakan pelengkap satu sama lain. Serahkan kepada konsumen untuk memilihnya," ujarnya.
Diketahui, pemerintah Indonesia memasang target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan battery electric vehicle (BEV) alias mobil listrik.
Target ambisius tersebut tentu akan mengubah struktur industri otomotif nasional, mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen, dimana perubahan mobil dari mesin pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) ke BEV dinilai sangat radikal.
Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu, melihat selain membuat industri manufaktur akan terganggu, perubahan menuju elektrifikasi saat ini masih hanya sekadar wacana politis.
"Era elektrifikasi ini masih sebatas wacana politis dan normatif saja. Sekarang, masyarakat belum kenal emisi nol karbon. Lalu, konsumen saat ini tertarik mobil listrik dari sisi hi-tech saja, bukan pada sisi kontruksi engineering. Belum ada standarisasi baterai dan kegamangan lain adalah harga yang terlalu tinggi masih menjadi problem," tutur Yannes.