TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Banyak lulusan SMP masuk SMK tidak dengan passion dan visi yang jelas.
Bahkan cenderung terpaksa masuk SMK, atau memiliki pola pikir simple, yaitu masuk SMK pasti cepat dapat kerja.
Demikian disampaikan Wikan Sakarinto dalam Seminar Nasional Pra-Munas XIII KAGAMA yg diselenggarakan oleh Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) bertajuk “Pendidikan Bangsa dalam Menyiapkan SDM Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0” di Museum Ranggawarsita Semarang, Kamis (22/8/2019).
Dekan Sekolah Vokasi (SV) UGM itu membabar permasalahan pendidikan vokasional di Indonesia, dan memberikan beberapa solusi.
"Padahal yang dibutuhkan keterampilan kompetensi dan etos kerja, serta karakter positif dan unggul pada diri lulusan SMK," ungkapnya.
Menurut Wikan, bukan ijasah SMK yang ternyata tidak sesuai harapan tersebut.
Ia mengakui memang sulit menciptakan lulusan yang 100 persen siap kerja. Biasanya harus melalui training di awal bekerja.
"Training tersebut benar-benar dari awal. Dan biasanya setelah training, ia pindah ke perusahaan lain," kata Wikan.
Selain itu, permasalah lain yang perlu segera diselesaikan yaitu kualitas guru SMK dan infrastruktur.
Tak hanya pendidikan vokasional di tingkat SMK, permasalahan pendidikan vokasional di tingkat perguruan tinggi juga perlu segera diselesaikan.
Dari tahun 1970 an sampai 2000 an, papar Wikan, Vokasi di perguruan tinggi adalah Prodi Diploma-3 (D3).
Sebagian besar, mahasiswa D3 di Indonesia memilih masuk ke Prodi D3 karena tidak diterima di Prodi S1. Mereka biasanya gagal dalam seleksi SNMPTN, SBMPTN, maupun UM.
Selain itu, hampir semua lulusan D3 Vokasi meneruskan kuliah ke Program Ekstensi S1, baik langsung atau kerja dulu baru lanjut.
"Jadi, lagi-lagi masuk D3 tidak dengan passion, visi dan komitmen untuk menciptakan kompetensi pada diri mereka. Karena target utamanya yaitu lanjut kuliah ke S1," ujarnya.