TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah situasi dan kondisi pandemi ini, sekolah dan para siswa mengalami sejumlah hambatan dalam melangsungkan proses belajar mengajar jarak jauh di tengah situasi pandemi COVID-19.
Sejumlah hambatan antara lain adalah fasilitas multimedia bagi staf pengajar dan para siswa.
Sarana komunikasi siswa yang belum memadai, dikarenakan orang tua siswa mayoritasnya bekerja sebagai petani sehingga kepemilikan ponsel tidak 100% dipegang oleh para siswa-siswi.
Hambatan lain antara lain adalah medan geografis sekolah dan letak rumah siswa di daerah perbukitan, menyebabkan minimnya resepsi sinyal internet dan ponsel.
Fakta ini mendorong seorang SD Kanisius Kenalan, Henricus Suroto berinisiatif beberapa kali memberikan kelas dengan mendatangi rumah para siswa di perbukitan Menoreh yang terkendala sinyal dan ponsel untuk belajar online dari rumah karena pandemi COVID-19.
Sutoto sampai menghabiskan sekitar enam jam sehari bepergian dengan sepeda motor dan berjalan kaki untuk menjangkau beberapa komunitas terpencil di daerah perbukitan Magelang maupun Kulon Progo.
Baca juga: Viral Tulisan Tangan Siswa SMA di Cilacap yang Sangat Rapi, Dipuji Guru hingga Warganet
“Saya seorang guru yang harus menemani dan mengajari murid-murid saya,” kata Suroto tentang alasannya mendatangi murid-muridnya.
SD Kanisius Kenalan adalah salah satu sekolah dasar swasta di bawah kepemilikan Yayasan Kanisius Cabang Magelang, dan berlokasi di daerah Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sekolah yang telah menginjak usia 91 tahun ini kini tetap berdiri meski dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, hanya diisi oleh 68 siswa yang menempati 6 ruang kelas dan didukung oleh 9 staf pengajar termasuk kepala sekolah, guru dan petugas kebersihan.
Inisiatif Suroto sempat menjadi pemberitaan media internasional seperti Reuters, Straits Times, CNN Network, New York Time dan sebagainya.
Sejak pandemi Covid-19, pihak sekolah tempat Suroto mengajar telah mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan pembelajaran daring namun banyak siswa yang tidak bisa mengakses internet karena kondisi medan di daerah pegunungan.
Meskipun melakukan pembelajaran tatap muka, Suroto tetap melakukan protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak.
Suroto melakukan pertemuan secara kelompok, dua hingga enam anak dalam satu dusun, untuk belajar bersama di tempat yang sudah ditentukan.
Sementara untuk siswa yang terpisah jauh rumahnya, Suroto juga tetap mendatangi rumahnya.