Edo dan Bagus adalah sahabat karib. Mereka satu kelas di sebuah sekolah dasar di Solo, Jawa Tengah. Namun, sejak seminggu ini sikap Edo mendadak berubah terhadap Bagus. Sekarang, Edo selalu berangkat sekolah sendiri. Bahkan, jika Bagus mendekatinya untuk bicara, tiba-tiba Edo segera beranjak pergi.
Kenapa sekarang Edo tidak mau bicara dan bermain denganku, ya?” tanya Bagus kepada Damar, teman sebangkunya ketika jam istirahat sekolah.
“Iya, aku juga melihat kalian seperti sedang bermusuhan. Apa karena kamu yang terpilih menjadi ketua kelas pada pemilihan minggu lalu? Edo kan juga kandidat ketua kelas,” tebak Damar.
“Tapi kan kita melakukannya secara sportif. Itu pilihan teman-teman satu kelas. Bu Guru Aneke sendiri yang mengawasi,” kata Bagus.
Damar mengangguk membenarkan. Ketika bel pulang sekolah, Edo buruburu keluar kelas. Ia sengaja menghindar untuk pulang bersama Bagus. Karena tergesa-gesa, kaki Edo tersandung kaki meja. Kepalanya terbentur ujung meja.
“Aduh!” Edo mengerang kesakitan.
Bagus, Damar, dan Bimo yang melihatnya segera menolong Edo. Bagus memapah Edo menuju kursi. Bagus segera mengambil peralatan P3K di lemari kelas. Luka di dahi Edo segera ia obati.
“Aku akan mengantarmu pulang, Edo,” kata Bagus.
“Terima kasih, Bagus. Aku bisa pulang sendiri, kok,” tolak Edo.
“Emm, kenapa belakangan ini kamu selalu menghindariku, Edo? Apa salahku? Bukankah kita berteman sejak lama?” tanya Bagus.
Edo menunduk. Ia lalu menghela napas.
“Sebenarnya, aku tidak bisa menerima kekalahanku waktu pemilihan ketua kelas. Aku iri kepadamu, Bagus. Sebagian besar teman-teman lebih memilihmu daripada aku. Padahal, sedari dulu aku yang menjadi ketua kelas!” jelas Edo.
“Aku tidak ingin bermaksud menggesermu yang biasa menjadi ketua kelas, Edo. Aku ikut menjadi kandidat ketua kelas karena pilihan teman-teman, termasuk kamu, kan, Do?” kata Bagus.
Edo ingat, waktu itu memang ia yang mengusulkan nama Bagus untuk ikut juga menjadi kandidat. Saat itu, Edo sangat yakin, ia yang akan terpilih menjadi ketua kelas, bukan Bagus.