"Gen Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Hal ini membuat mereka terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses. Sebagai pendidik, kita harus bisa mengimbangi dan mengarahkan pada hal-hal yang positif,” jelas Nanda.
Selain kesenjangan generasi, Gen Z juga mengalami ancaman terkait kesehatan mental.
Mereka sangat takut akan kegagalan.
Gen Z juga sangat menuntut diri sendiri untuk dapat berhasil dan tidak mengecewakan orang lain.
Akibatnya mereka takut untuk membuat suatu keputusan karena takut gagal.
Baca juga: Lima Kasus Murid Jatuh, FSGI Minta Kemendikbudristek dan Disdik Evaluasi Sistem Keamanan Sekolah
Puncaknya jika hal ini tidak ditangani dengan benar, akan menimbulkan depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku yang merupakan salah satu penyebab utama penyakit dan kecacatan di kalangan remaja.
Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, memaparkan bahwa komunikasi menjadi kunci utama dalam mengatasi kesenjangan generasi.
"Saling memahami lebih indah daripada menghakimi antar generasi hanya karena berbeda. Jalin kolaborasi antar generasi, buka ruang, kesempatan saling berbagi, dan bekerja sama. Sebagai guru, lakukan analisis karakteristik lintas generasi serta dalam penyampaiannya gunakan metode komunikasi yang beragam sesuai generasi yang dituju,” ujar Ana.
Kerja sama untuk memangkas kesenjangan antara guru dan murid ini harus dilakukan secara konsisten untuk hasil yang maksimal.
Guru harus bisa lebih memahami anak didiknya dengan berbagai penyesuaian terhadap teknologi, perspektif dan perilaku.
“Harapan kami webinar ini dapat membuka perspektif baru bagaimana cara menumbuhkan pemahaman lintas generasi dan meminimalisir konflik antara guru dan murid yang timbul karena adanya kesenjangan generasi”, kata Lio.