Pilihannya hanya dua: presiden petahana Jair Bolsonaro dan mantan presiden Luiz Inácio Lula da Silva. Brasil mengalami polarisasi politik akibat persaingan tajam antara dua tokoh tersebut.
Baca juga: Profil Luiz Inacio Lula da Silva, Mantan Presiden Brasil, Pernah Jadi Tukang Semir Sepatu dan Kurir
Pendukung Bolsonaro menebar hoax yang memojokkan Lula melalui para tokoh agama.
Dalam perhitungan suara paska pemilu, mantan presiden Lula da Silva kembali berkuasa, mengalahkan Jair Bolsonaro dengan selisih sangat tipis.
Empat tahun kepemimpinan yang erosif, diikuti oleh pemilihan yang sangat terpolarisasi, telah membuat masyarakat Brasil terbelah.
Lebih buruk lagi, rakyat Brasil harus menyaksikan kapten tim nasional dan pemain bintang, Neymar, membelakangi lebih dari 30 juta orang Brasil yang kelaparan dan 120 juta orang yang hidup di ambang kerawanan pangan dan mendukung Bolsonaro.
Kolumnis bola The Guardian, Juninho Pernambucano, menulis bahwa Neymar jelas kehilangan kontak dengan akarnya, yaitu mayoritas penduduk yang akan mendukungnya selama Piala Dunia.
Setiap empat tahun, pemilihan presiden dan Piala Dunia bertepatan di Brasil, mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh lanskap masyarakat.
Setelah Piala Dunia Rusia 2018, terjadi pembajakan politik terhadap jersey kuning tim nasional Brasil -jersey yang bersejarah dan sangat dihormati.
Jersey tersebut digunakan untuk meningkatkan gerakan nasionalis Bolsonaro, dan membuat jutaan rakyat Brasil tidak mengakui dan menolak untuk memakainya, bahkan untuk kepentingan di Piala Dunia.
Namun terlepas dari semua ini, masih ada harapan untuk masa depan yang lebih baik, dengan banyak orang di Brasil mendukung tim nasional dan berharap bahwa kesuksesan tim Samba di Piala Dunia akan memulai rekonsiliasi akibat luka baru yang menyakitkan.
Proses pemulihan identitas Brasil di panggung dunia dimulai oleh Lula selama Konperensi Perubahan Iklim (COP27) yang diselenggarkan di Mesir.
Ia menunjukkan komitmen baru Brasil terhadap diplomasi global dan kepemimpinan lingkungan; dan proses pemulihan ini diharapkan berlanjut di lapangan hijau selama perhelatan Piala Dunia di Qatar.
Jika rakyat Argentina sangat berharap agar Tim Tango kalah terus-menerus di fase grup demi pemulihan ekonomi dalam negeri, maka rakyat Brasil sangat berharap agar Tim Samba berjaya di medan laga, untuk memulihkan luka politik serta merekatkan kembali persaudaraan antar anak bangsa.
Dalam situasi politik seperti inilah, tim asuhan Tite memasuki gelanggang pertempuran. Lawan pertama mereka adalah pasukan Serbia, di bawah pimpinan Dragan Stojkovic yang akan berlangsung di Lusail Stadium.
Kemenangan Tim Samba sangat dinanti untuk membalut luka-luka politik yang diderita oleh rakyatnya. Namun, Sergej Milinkovic-Savic dan kawan-kawan tak akan rela membiarkan Tim Samba mempecundangi mereka.****