Dan, meskipun Mesir kalah dari Senegal di final Piala Afrika dan playoff kualifikasi Piala Dunia, dia mendukung Lions of Teranga.
"Mereka bermain untuk kita. Mereka turun ke lapangan untuk semua orang Afrika," kata
Mahmoud dikutip dari Deutsche Welle.
"Saya orang Mesir tapi saya di sini untuk mendukung Maroko," kata Gamal, seorang pendukung yang ditemui di Souq Waqif, salah satu titik pertemuan paling populer bagi para penggemar di Doha.
"Maroko adalah negara Arab terakhir yang tersisa di kompetisi, dan juga negara Afrika terakhir."
Semangat serupa dilontarkan pendukung Senegal.
Tim jagoan mereka dikalahkan habis-habisan oleh Inggris. Meski kecewa, para suporter kini punya misi baru.
"Sekarang kami akan mendukung Maroko sampai akhir," ujar Bintou, anggota '12th
Gainde' kelompok suporter yang penuh warna yang diterjemahkan sebagai 'pemain
ke-12' dalam bahasa Wolof.
"Seluruh Senegal, seluruh Afrika , berada di belakang Maroko. Mereka adalah tim kamisekarang dan kami berharap mereka bisa mencapai final," kata Bontou.
Ketika Maroko menyingkirkan La Furia Roja, sekitar 15 ribu warga tumpah ruah di jalanan Souq Waqif. Mereka tak hanya yang berasal dari Maroko, tapi juga adalah penduduk Qatar, pendukung Senegal, Kamerun, Tunisia, dan Ghana.
Bahkan, seperti ramai terlihat di media sosial, di Aljazair sana, warganya turun ke jalan merayakan kemenangan tim Singa Atlas. Padahal, kedua negara sedang tegang karena isu Sahara Barat.
Fenomena ini menunjukkan, bahwa sementara negara mungkin bertengkar, rakyat mereka hanya fokus pada satu hal: melihat Afrika dan dunia Arab bersinar di Piala Dunia, terlepas dari bagian mana.
Pelatih Maroko, Walid Reragui pun mengumandangkan sentimen kontinental ini.
"Kami juga orang Afrika," kata Reragui menjelang pertandingan grup terakhir melawan
Kanada.
"Jadi, seperti Senegal, seperti Ghana, seperti Kamerun dan seperti Tunisia, kami ingin
mengibarkan bendera sepak bola Afrika."