TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyoroti penggunaan politik identitas pada Pemilihan Presiden 2019.
Menurutnya, perlu regulasi agar politik identitas dapat dikurangi pada penyelenggaraan Pilpres 2019 .
"Perlu dibicarakan lagi bagaimana sistem kita relatif tak bisa memberi ruang kepada politik identitas," ujar Haedar saat ditemui di Gedung Menara Kompas, Palmerah, Jakarta Barat, Senin (13/8/2018).
Haedar juga berpandangan jika politik identitas tidak bisa dihilangkan begitu saja di Indonesia.
Baca: Cek Fisik LHKPN Capres, Ketua KPK: Kalau Orangnya Kaya Butuh Waktu Lama
Pasalnya, identitas pada masyarakat Indonesia yang majemuk dan masih memegang adat istiadat sangat kuat.
Oleh karena itu, regulasi yang dimaksud adalah bagaimana politik identitas justru berdampak positif, tidak berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Politik identitas itu menjadi culture positif untuk meneguhkan ke-Indonesia-an kita. Karena tidak mungkin dihilangkan politik identitas itu. Bagaimana juga politik identitas itu juga memperoleh akomodasi yang rasional dalam konteks kebangsaan kita," tutur Haedar.
Penggunaan politik identitas di Indonesia, sambung Haedar, cukup mengkhawatirkan.
Di sisi satu, aktor politik menjadikan politik identitas sebagai alat untuk meraih elektoral.
Namun, di sisi lain, sejumlah kelompok primordial menjadikan itu sebagai bahan transaksi.
"Pembeli dan penjual itu ketemu. Jadi aktor-aktor politik memerlukan politik identitas untuk suara, untuk elektoral. Sebaliknya juga kelompok primordial itu menjadikan agama, suku, ras, golongan sebagai alat untuk transaksi," ujar Haedar.