TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Praktisi hukum Dr Anwar Budiman SH MH menyarankan Polri bertindak bijak dalam menyikapi aksi #2019GantiPresiden.
“Di satu sisi jangan sampai memasung kebebasan berpendapat, di sisi lain harus melakukan antisipasi jangan sampai terjadi bentrok antar-pendukung. Jadi, Polri memang harus ekstra-hati-hati menghadapi buah simalakama ini,” kata Anwar Budiman di Jakarta, Selasa (4/9/2018).
Ia berkomentar soal fenomena dan potensi bentrokan antar-warga yang mengiringi gerakan #2019GantiPresiden yang akhir-akhir ini marak terjadi di Tanah Air, seperti di Serang, Surabaya, Pangkalpinang, Pontianak, Pekanbaru, Banyuwangi, Ponorogo, Purwakarta, Gorontalo dan sebagainya.
Mabes Polri kemudian menerbitkansurat perintah untuk jajarannya soal pemberian izin acara gerakan tanda pagar (tagar) dukungan calon presiden (capres).
Dalam surat telegram yang beredar, munculnya gerakan tagar 2019GantiPresiden, tagar 2019TetapJokowi dan tagar 2019PrabowoPresiden di berbagai daerah berpotensi menimbulkan konflik horisontal antarpendukung capres di tengah masyarakat.
Polri menyatakan kegiatan dari gerakan tagar dukungan capres yang bersifat penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis.
Baca: Satpol PP Depok Copot Dua Spanduk Pro dan Kontra 2019 Ganti Presiden
Hal itu diatur dalam Undang-Undang (UU) No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
Ada lima hal yang harus dipenuhi dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, yakni menghormati hak-hak orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Deklarasi #2109GantiPresiden, kata Anwar, adalah hak konstitusional warga di negara demokrasi seperti Indonesia, bahkan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. “Kebebasan berpendapat kemudian diatur implementasinya di dalam UU No 9/1998,” jelas advokat kelahiran Jakarta 1970 ini.
Kemerdekaan mengemukakan pendapat, lanjut Anwar, juga merupakan sebagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh Deklarasi Universal HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya Pasal 19 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan tidak memandang batas-batas”; serta Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat”, dan ayat (2) yang berbunyi, “Tidak ada seorang juga pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.”
Namun, kata Anwar, mereka yang menolak gerakan #2019GantiPresiden juga dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang sama, sehingga baik yang pro maupun yang kontra ganti presiden tak ada yang salah. “Yang salah adalah jika ada yang memprovokasi agar terjadi benturan antar-kubu di lapangan,” cetus Anwar yang juga pengamat politik.
Sebab itu, sekali lagi, Anwar meminta Polri bertindak bijak, jangan sampai ada kesan berat sebelah. Polri ia sarankan agar tetap berpegang teguh pada profesionalisme dan independensinya, sesuai amanat UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Dalam Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas); menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,” tukasnya.
Anwar juga menyambut baik aturan yang baru diterbitkan Polri, yang penting pelaksanaannya harus adil. “Katakanlah harus ada izin atau pemberitahuan dalam melaksanakan aksi tersebut, apakah izin atau pemberitahuan itu berarti untuk menggugurkan larangan? Apakah hak tersebut memang dilarang? Polri harus menjawab ini. Yang pasti, kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional warga yang dilindungi undang-undang. Karena hak itu tidak dilarang undang-undang, maka kewajibannya adalah hanya pemberitahuan bahwa rakyat akan mengambil haknya dan menggunakan hak tersebut secara konstitusional,” urainya.
“Arti dari izin adalah untuk menggugurkan larangan. Hanya untuk melakukan hal-hal yang terlaranglah yang harus mendapatkan izin, sedangkan melaksanakan hak sejatinya bukan hal terlarang,” tegasnya.
Di sisi lain, Anwar meminta para elite politik untuk menahan diri, jangan sampai rakyat menjadi korban atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Apalagi masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 baru dimulai pada 23 September 2018.
“Kalau di lapangan terjadi bentrokan, siapa yang jadi korban? Rakyat, bukan para elite politik yang menggerakkan mereka,” tandasnya.