TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Genderang kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 di Indonesia dimulai seiring pembukaan dan deklarasi kampanye damai oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kawasan Monas Jakarta pada Minggu (23/9/2018).
Jauh hari sebelum masa kampanye dimulai, sejumlah peretas atau hacker asal Rusia disebut telah berada di Indonesia, tepatnya pada saat pengusungan calon presiden sedang berjalan.
Peretas Rusia yang dimaksud juga merupakan 'think-tank' saat kampanye pemenangan Donald Trump di Amerika Serikat pada 2016.
Tidak hanya di Amerika Serikat, para peretas ini juga pernah terlibat di dalam delapan pilpres negara lainnya.
Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Intelijen, Nuruddin Lazuardi kepada Tribun di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Data yang dimilikinya, menjelaskan bahwa para peretas tersebut sudah bertemu dengan beberapa petinggi partai politik di Indonesia.
"Iya saya sudah tahu soal itu. Ada pembicaraan antara mereka dengan beberapa politisi. Tim ini sudah ada sejak lama dan itu hal yang biasa saja," ungkapnya.
Baca: Bocorkan Soal UNBK, Kepsek SMPN 54 Surabaya Divonis 1,5 Tahun Penjara
Namun, dia masih belum tahu apakah dalam pembicaraan tersebut agen Rusia ini mengatasnamakan pemerintah Rusia atau bergerak membawa institusi perusahaan.
"Nah yang itu saya belum tahu. Apa mereka atas nama pemerintah Rusia atau murni bisnis, saya tidak paham," ujarnya.
Dalam pekerjaannya, peretas dari Rusia ini akan lebih banyak bermain di media sosial, sama halnya saat kampanye Trump di Amerika Serikat. Mereka, akan bermain di algoritma media sosial.
"Mereka akan mengandalkan teknologi yang dimiliki untuk pilpres 2019 ini. Mereka main di Facebook dan Twitter khususnya. Kalau Instagram saya pikir tidak," jelas dia.
Caranya, agen tersebut akan 'memotong' algoritma di jejaring Facebook dan Twitter yang mengunggah konten tidak menyenangkan bagi pasangan calon yang dibela.
Selain itu, mereka juga akan memviralkan pasangan calon yang dibela di semua media sosial.
Ketika sudah viral, maka konten tersebut akan diangkat menjadi pemberitaan oleh media arus utama.
"Mainnya di viral. Kalau ada konten yang menyudutkan, biasanya oleh mereka di "cut" langsung. Kalau sudah viral, nanti kan jadi berita juga di media mainstream," urainya.
Nuruddin enggan menjawab saat ditanya untuk siapa para agen tersebut bekerja.
Baca: Partai Gerindra, Perindo, Berkarya, dan PKPI Mamuju Tak Boleh Kampanye di Medsos
"Ya lihat saja nanti lah. Siapa yang beri jatah banyak untuk Rusia kalau menang, ya itu dia yang pegang," ujarnyanya.
Tribun mencoba mengklarifikasi informasi tersebut ke dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.
Wakil Direktur Informasi dan Teknologi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno, Vasco Ruseimy, membantah adanya peran agen yang menaungi hacker asal Rusia itu.
Menurutnya, tidak ada akses kubu mereka ke peretas asal Rusia tersebut.
Terlebih, pasangan nomor urut 02 sudah merasa cukup dengan adanya bantuan dari relawan yang bergerak selama ini di media sosial.
"Enggak lah. Kita cukup dengan relawan saja. Lagian, enggak ada akses ke mereka," ucapnya.
Dia mengatakan bahwa terlalu jauh mengaitkan pilpres 2019 kali ini dengan hadirnya peretas Rusia yang pernah terlibat dalam kampanye Donald Trump di Amerika Serikat.
"Terlalu jauh lah. Saya kira tidak ada yang seperti itu di pilpres Indonesia," imbuhnya.
Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Raja Juli Antoni mengatakan sejauh ini timnya masih percaya dengan kemampuan anak bangsa. Masyarakat, kata dia, menjadi konsultan politik pasangan nomor urut 01 itu.
"Tidak lah. Kami masih percaya dengan anak bangsa. Tidak perlu konsultan politik dari luar negeri," tegasnya.
Dia menyatakan, apabila benar ada pihak yang menggunakan jasa agen asing, maka sudah dapat dipastikan akan diintervensi kebijakan-kebijakannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memperhatikan informasi tersebut.
"Itu kan berarti ada intervensi dari asing. Kalau benar ada, ya Bawaslu harus bisa mengawasi ini," imbuhnya. (Tribun Network/Amryono Prakoso)