News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2019

Keuntungan Demokrat Ketika Bebaskan Pilihan Di Pilpres 2019

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Said Salahudin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Partai Demokrat akan memeperoleh keuntungan besar ketika memberikan kebebasan pilihan kepada kadernya di Pilpres 2019.

Karena menurut Pengamat politik dari Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, para kader merasa mendapatkan jaminan kemerdekaan memilih tanpa khawatir dikenakan sanksi organisasi.

"Konstituen parpol di setiap dapil pun menjadi tidak ragu lagi untuk kembali memilih caleg dari parpol bersangkutan. Dengan begitu, loyalitas kader dan konstituen parpol diharapkan dapat tetap terpelihara," ujar Said kepada Tribunnews.com, Jumat (16/11/2018).

Jadi dia menjelaskan, kalau dulu Demokrat memperoleh 10,19 persen, maka perolehan suara mereka di Pemilu 2014 itu diharapkan bisa tetap solid pada Pemilu 2019 nanti. Ini manfaat yang pertama.

Manfaat kedua yang bisa dipetik dari strategi itu adalah peluang untuk memperoleh suara dari Pemilih potensial.

Terutama menurut dia, bagi mereka yang sudah muak dengan perseteruan politik antar-parpol pendukung dari dua pasangan capres-cawapres.

"Dalam penilaian Pemilih yang mencintai Pemilu damai ini, parpol-parpol pendukung capres-cawapres saat ini sama saja, gemar ribut dan selalu saling serang demi membela capres-cawapres yang mereka dukung secara membabi-buta," jelasnya.

Nah, imbuhnya, melalui strategi pembebasan pilihan di Pilpres ini, parpol dapat keluar dari medan pertempuran politik antar-pendukung capres-cawapres yang ganas itu.

"Mereka bisa mengambil posisi netral guna menarik simpati Pemilih potensial yang mencintai pemilu damai tersebut," ucapnya.

Baca: PKS: Komunikasi Gerindra dan Demokrat Harus Cooling Down

Pertanyaannya, bolehkah parpol pengusung atau pendukung suatu pasangan mengambil posisi netral di Pilpres dengan membebaskan kadernya untuk memilih capres-capres lain?

Secara hukum itu bukan persoalan. Sebab, jangankan bersikap netral, untuk mengkampanyekan capres-cawapres yang lain pun tidak ada larangan.

Mengapa? Sebab dalam peraturan perundang-undangan setiap parpol diperbolehkan melaksanakan kampanye Pilpres sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PKPU Nomor 33 Tahun 2018 Tentang Kampanye.

Nah, PKPU itu tidak membatasi parpol hanya boleh berkampanye untuk capres-cawapres tertentu.

Tidak pula ada larangan bagi parpol untuk mengkampanyekan capres-cawapres selain yang mereka usulkan kepada KPU.

Jadi, bebas-bebas saja kalau ada parpol yang mau bersikap netral di Pilpres seperti yang dilakukan oleh Partai Demokrat itu.

"Bahkan kalau Partai Demokrat, termasuk pula PAN dan PKS, misalnya, mau mengkampanyekan pasangan Jokowi-Ma’ruf pun itu sah-sah saja, sepanjang kesepakatan internal koalisi pasangan Prabowo-Sandi tidak melarangnya," jelasnya.

Syarat kedua, sikap netral atau pilihan berkampanye untuk pasangan lain tidak disertai dengan upaya untuk menarik capres-cawapres yang mereka usulkan sebelumnya kepada KPU pada tahap pencalonan.

Bahwa atas sikap parpol yang demikian itu muncul pandangan bahwa hal itu dianggap kurang etis, itu soal lain. Sebab, bagi parpol etika itu biasanya nomor dua.

"Nomor satu adalah bagaimana mereka selamat dulu di Pemilu legislatif," tegasnya.

Jadi, lanjut dia, kalau parpol lain seperti PAN, PKS, PKB, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, termasuk parpol lain yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi atau Jokowi-ma’ruf ingin menyelamatkan suaranya atau ingin terhindar dari kemungkinan tidak lolos PT, maka strategi Demokrat diatas bisa saja ditiru.

"Tetapi saya ragu PKS, PKB, Nasdem, dan Hanura mau mengikuti jejak Demokrat, sebab komitmen PKS terhadap Prabowo cukup teruji, sebagaimana PKB, Nasdem, dan Hanura yang konsisten mendukung Jokowi."

"Tetapi kalau PAN, Golkar, dan PPP, sepertinya lebih rasional," jelasnya.

Sebab, menurtu dia, pada Pemerintahan Jokowi, PAN sempat merapat, sedangkan Golkar dan PPP pernah menjadi pendukung utama Prabowo di Pilpres 2014.

Lebih dari itu, Pemilih Golkar dan PPP tampaknya masih banyak juga yang setia kepada Prabowo-Sandi. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini