TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Berdasarkan hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia Denny JA atau LSI Denny JA, Reuni 212 tidak terlalu mempengaruhi signifikan terhadap elektabilitas kedua pasangan calon presiden.
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby menerangkan, terdapat lima alasan, kenapa Reuni 212 tidak banyak mengubah elektabilitas pasangan capres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno secara signifikan.
Alasan yang pertama, ucap Adjie, mayoritas pemilih yang suka Reuni 212 sudah memiliki sikap yang sulit dipengaruhi oleh pimpinan Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab.
"Terutama mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia bersyariah dan Presiden baru," ujar Adjie di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (19/12/2018).
Dari 54,5% pemilih yang suka dengan Reuni 212, ucap Adjie, 83,2% masih menginginkan NKRI berdasarkan Pancasila, sementara hanya 12,8% pro dengan NKRI Bersyariah yang diserukan oleh Habib Rizieq.
"Kemudian, dari 54,5% yang suka dengan Reuni 212, 43,6% memilih Jokowi-Ma'ruf. Sedangkan, 40,7% memilih Prabowo-Sandiaga," tutur Adjie.
Alasan yang kedua, berdasarkan hasil sigi LSI Denny JA, terdapat kelompok pemilih yang mengalami tren peningkatan dan penurunan terhadap Prabowo-Sandiaga.
Baca: Maruf Amin Sebut Penahanan Bahar Smith Bukan Kriminalisasi Ulama
Yang meningkat, dari dua organisasi Islam, yakni FPI dan Persaudaraan Alumni (PA) 212. Sedangkan, pemilih yang mengalami tren penurunan terhadap Prabowo, berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Alasan yang ketiga, lantaran tren kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan hasil sigi LSI pada November 2018 dan Desember 2018, masyarakat semakin puas dengan kinerja Jokowi.
"Jadi, faktor ketiga mengapa efek dari Reuni 2q2 tidak terlalu signifikan mempengaruhi elektabilitas, karena di saat yang bersamaan kepuasan kinerja terhadap Jokowi meningkat dari 69,4% di November menjadi 72,1% di Desember," tutur Adjie.
Alasan keempat, karena Ma'ruf Amin, meski tidak meningkatkan elektabilitas Jokowi, namun dapat menjadi jangkar atau benteng Jokowi untuk pemilih muslim.
"Kiai Ma'ruf tidak mendongkrak, tapi mampu menjadi jangkar Jokowi, sehingga pemilih muslim tidak terpengaruh," kata Adjie.
Sedangkan, alasan terakhir, lantaran Jokowi berbeda dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jika pada Pilkada 2017 lalu, Ahok dijerat dengan kasus penodaan agama, tidak halnya dengan Jokowi.
"Ahok jadi common enemy atau musuh bersama karena adanya kasus penistaan agama. Jadi saat itu, Ahok dianggap musuh bersama umat Islam. Sementara pemilih muslim tidak melihat Jokowi sebagai common enemy," kata Adjie.
Survei ini dilakukan dalam rentang waktu 5-12 Desember 2018 dengan menggunakan metode multistage random sampling terhadap 1.200 responden. Survei menggunakan wawancara tatap muka langsung melalui kuesioner. Margin of error berada di kisaran kurang lebih 2,8 persen.