TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mendorong segera dirumuskan RUU Anti Kejahatan Komunikasi di tengah luar biasanya penyebaran hoaks.
Bahkan Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner ini menyarankan agar sanksi fisik yang sangat berat dan disertai dengan sanksi sosial lainnya, seperti kerja sosial yang mengenakan seragam khusus diatur dalam RUU tersebut.
"Pemberian sanksi yang berat sebagai efek jera pagi pelakunya dan sekaligus “lonceng peringatan” bagi orang lain agar tidak sekali-kali memproduksi dan menyebarkan segala bentuk kejahatan komunikasi," tegas Emrus Sihombing kepada Tribunnews.com, Kamis (10/1/2019).
Hoaks terakhir yang sangat menghebohkan mengenai tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dia menegaskan, kejahatan komunikasi merupakan perbuatan yang sangat berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari kejahatan korupsi. Kejahatan komunikasi bisa mengkonstruksi realitas sosial yang menimbulkan kekacauan yang berpotensi mengganggu keberadaan dan keutuhan suatu negara.
Karena dia menjelaskan, hoaks merupakan salah satu bentuk kejahatan komunikasi luar biasa (extra ordinary crime). Sebab, pesan hoax sangat didominasi yang bukan fakta dan data, bersifat provokatif, adu domba, acapkali berujung men-delegitimasi institusi formal (misalnya eksistensi negara) dan kredibilitas sosok pemimpin yang masih legitimate.
Baca: Serbuk dalam Benda Mirip Bom Pipa di Rumah Ketua KPK Ternyata Semen Putih
Dengan demikian, hoaks bukan berita. Sangat tidak pantas dipakai kata “berita” di depan kata “hoaks,” menurut dia.
"Jadi, tidak ada “berita hoaks.” Yang ada pesan kebohongan alias hoaks. Hoaks adalah hoaks- kebohongan adalah kebohongan. Sedangkan berita berbasis pada fakta dan data yang sudah melalui proses check and recheck secara ketat yang berfungsi memberi informasi (mengurangi ketidakpastian), mendidik dan menghibur khalayak (masyarakat)," jelas Emrus Sihombing.
Sebagai kejahatan komunikasi luar biasa (extra ordinary crime), hoaks kata dia, sangat berpotensi menimbulkan (mengkonstruksi) perbedaan pandangan yang sangat tajam dan bersifat emosional yang negatif, gesekan sosial, konflik horizontal dan kekacauan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik seperti menimbulkan ketidaknyamanan relasi antar individu serta antar kelompok dalam suatu tatanan sosial atau dalam suatu negara kebangsaan.
Kondisi sosial semacam ini merupakan bahaya laten terhadap eksistensi kohesi sosial dalam suatu negara.
"Sebagai bangsa untuk melawan serta menolak atau paling tidak membuat hoaks layu sebelum berkembang," tegasnya.
Pada jangka pendek ini, dia mendorong seluruh komponen bangsa seperti politisi, partai, caleg, tim sukses, capres-cawapres, pemerintah, lembaga negara, LSM, organsisasi kemasyarakatan, akademisi dan sebagainya harus bersama-sama mengkampanyekan anti hoaks.
Pun secara simultan menggelorakan komunikasi beradab dan nilai-nilai ke-Indonesia-an di ruang publik.
"Salah satu wujud konkritnya, misalnya, bila paslon Pilpres A diserang hoaks, maka paslon Pilpres B maju ke depan membela paslon Pilpres A tersebut, seraya menjelaskan bahwa paslon mereka (paslon Pilpres B) tidak mau menang di tengah maraknya hoaks," jelasnya.
Untuk jangka seterusnya, yaitu sejak dulu dan hingga tanpa batas waktu ke depan, dia menyarankan agar seluruh rakyat Indonesia bersama-sama mengelorakan komunikasi ke-Indonesia-an yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Misalnya, dia mencontohkan, melakukan komunikasi inklusif dan beradab di ruang publik.
"Untuk point ini, perlu direvitalisasi dan dioptimalisasi tugas dan fungsi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lembaga ini harus terus bersemangat, jangan sampai melempem," ucapnya.(*)