TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, menilai debat pertama pasangan calon presiden-calon wakil presiden di Pilpres 2019 tidak menjawab permasalahan hukum di Indonesia.
Pada Kamis (17/1/2019), diselenggarakan debat pertama membahas Penegakan Hukum, HAM, Korupsi, Korupsi, dan Terorisme. Acara diselenggarakan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.
“Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak menjawab permasalahan hukum yang ada di Indonesia saat ini, khususnya terkait reformasi kebijakan pidana,” kata Anggara, Jumat (18/1/2019).
Setidaknya, ICJR menyoroti tiga poin selama penyelenggaraan debat pertama. Poin pertama, dalam isu hramonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Poin kedua, isu penegakan hukum dalam Kejahatan Terorisme. Dan, poin ketiga, isu fair trial.
Untuk poin pertama, kata dia, pada pembahasan mengenai isu tumpang tindih regulasi, para pasangan calon luput dalam mengangkat isu tumpang tindih peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum pidana.
“Padahal, isu regulasi hukum pidana yang tumpang tindih ini sangat penting karena dalam hukum pidana dianut adanya prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta,” kata dia.
Baca: JK Maklumi Maruf Amin Irit Bicara di Debat Perdana
Pada saat ini, dia menjelaskan, terdapat begitu banyak peraturan perundang-undangan pidana yang memuat ancaman pidana namun bertentangan satu sama lain atau memuat istilah yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Saat ini juga pembahasan RKUHP yang diyakini sebagai kodifikasi seluruh ketentuan pidana sedang berlangsung. Sayangnya, kedua pasangan calon tidak punya fokus untuk pembenahan regulasi pidana.
“Tidak selarasnya peraturan perundang-undangan mengakibatkan banyak hak masyarakat yang tidak terpenuhi,” tegasnya.
Salah satu yang disoroti ICJR misalnya pemenuhan hak korban kejahatan. Indonesia meskipun memiliki UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun hak dan mekanisme pemenuhan hak korban juga masih tersebar di berbagai undang-undang.
Kondisi ini mengakibatkan seringkali hak tersebut tidak terpenuhi karena aturan yang tidak sinkron dan harmonis. Salah satu yang menjadi soal misalnya ketika pemerintah memutuskan tidak lagi menanggung pembiayaan korban kejahatan dengan skema BPJS, padahal dilain sisi, pemenuhan hak korban masih jauh dari kata cukup.