TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-KH Maruf Amin sempat mengungkapkan mengenai fair trial atau peradilan yang adil selama sesi debat kandidat di Hotel Bidakara, pada Kamis (17/1/2019).
Pasangan petahana itu mengungkapkan HAM dan penindakan hukum yang sesuai bukan suatu pelanggaran HAM, sebagai contoh mengenai penahanan, yang harus dilakukan supaya tersangka tidak melarikan diri atau merusak barang bukti.
Selain itu, keberadaan lembaga pra-peradilan juga sempat dinyatakan, untuk menjadi alasan Indonesia saat ini sudah melaksanakan fair trial karena terhadap mekanisme uji terhadap upaya paksa.
Melihat pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, memandang jawaban itu tidak merepresentasikan masalah fair trial yang ada di Indonesia.
“Sebab dalam isu ini, permasalahan tidak sebatas pada kerangka hukum yang tidak memadai, namun juga pada tingkatan pelaksanaannya,” kata Anggara, Jumat (18/1/2019).
Berdasarkan Laporan Penilaian Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018, saat ini penilaian terhadap pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan, diantaranya hak untuk tidak dilakukan penangkapan dan ditahan secara sewenang-wenang, masih berada di angka 37,6% (kurang).
Menurut dia, tantangan kunci dalam pemenuhan hak tersangka, salah satunya juga diidentifikasi sebagai mekanisme uji yang memadai terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum.
Baca: Visi Misi HAM Presiden Jokowi Dinilai Lebih Maju Oleh Penasehat Senior IHCS
“Sebab tidak pernah ada pengujian terkait dengan alasan substantif mengapa seseorang harus ditahan dan selama ini penahanan dilakukan dengan syarat substantif berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan ancaman hukuman 5 tahun,” kata dia.
Selain itu, masalah pembenahan sistem peradilan pidana yang seharusnya bertumpu pada prinsip transparansi, akuntabilitas, ada adanya pengawasan berjenjang juga perlu diperhatikan untuk dapat mengurangi adanya kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum.
Dia menambahkan, besarnya celah kuasa dan potensi kesewenang-wenangan tersebut membuka peluang korupsi yang selama ini jarang disentuh. Untuk menanggulangi korupsi maka perlu dilakukan pembenahan sistem.
“Pembenahan ini dapat dilakukan dengan melakukan perubahan KUHAP yang sangat mendasar dalam sistem peradilan pidana dari model crime control ke model due process,” tambahnya.