TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Pujakessuma) Nusantara Suhendra Hadikuntono mengingatkan Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mewaspadi modus operandi kampanye dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumatera Utara 2018 yang kini coba dikloning dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, khususnya di Jawa Tengah, yakni menggunakan ritual keagamaan sebagai bagian dari kampanye menarik simpati massa.
“Modus operandi yang diterapkan di Jateng sama persis dengan di Sumut," ucap Suhendra Hadikuntono yang juga Ketua Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN) di Jakarta, Jumat (15/02/2019).
Sebelumnya capres Prabowo Subianto menunaikan salat Jumat di Masjid Agung, Semarang, Jateng, dan sempat menuai polemik karena adanya pamflet dan spanduk untuk salat bareng Ketua Umum Partai Gerindra itu yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pihak Takmir Masjid akan adanya politisasi ibadah dan tempat ibadah.
Namun, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno membantah penyebaran pamflet itu.
Baca: 4 Fakta Prabowo Salat Jumat di Masjid Agung Kauman,Ibu-Ibu Selfie di Mobilnya Hingga Disambut Jamaah
Dalam Pilkada Sumut 2018, kata Suhendra, hal yang sama juga digunakan oleh calon gubernur yang diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yakni Edy Rahmayadi.
Bahkan sebelum pemungutan suara pada 27 Juni 2018, massa “digiring” untuk salat subuh berjamaah dulu di masjid-masjid kemudian langsung menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Yang dipersoalkan bukan ritual ibadahnya, tapi ketika ritual ibadah itu dijadikan alat kampanye. Inilah yang coba diterapkan di Jateng,” tegasnya.
Sebab itu, ia mengingatkan TKN Jokowi-Maruf jangan sampai kecolongan seperti di Sumut. “Kalau Jateng sampai ‘jebol’, maka alarm bagi Jokowi, karena Jateng dikenal sebagai kandang banteng (pemilih PDIP),” cetusnya.
Suhendra juga mengingatkan KPU dan Bawaslu untuk menegakkan aturan kampanye secara tegas dan tanpa pandang bulu, kalau memang ritual salat Jumat di Masjid Agung Semarang itu dijadikan ajang kampanye, mereka harus bertindak tegas. “Bila tidak, itu akan menjadi preseden buruk bagi wilayah-wilayah lain,” paparnya.
Ia kemudian mengutip Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 ayat (1) huruf h bahwa "pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan".
Ia juga mengutip Bab VIII Pasal 69 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum mengenai larangan dan sanksi. Di dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h PKPU No 23 Tahun 2018 disebutkan, pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Apabila terdapat pelanggaran, jelas Suhendra, maka berdasarkan Pasal 76 ayat (3) PKPU No 23 Tahun 2018 disebutkan pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai sanksi peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.
“KPU dan Bawaslu harus sigap dan melakukan tindakan tegas dan terukur," tandas pendiri Hadiekuntono Institute yang juga analis intelijen dan politik ini.