TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informartika melihat fenomena buzzer pada tahun politik dalam sudut pandang yang sah-sah saja. Artinya, buzzer ada sebagai pihak yang ikut meramaikan keriuhan tahun politik.
"Tapi kalau cara bekerjanya dengan cara black campaign, menciptakan hoaks menjelek-jelekkan orang lain, itu yang kami harus peringatkan bahwa pihak tersebut bakal terjerat UU ITE," kata Pelaksana Tugas Kabiro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu kepada Tribun.
Seperti diketahui, pada tahun 2018, Mabes Polri mencatat kejahatan di dunia maya atau siber yang erat kaitannya dengan profesi buzzer ini berjumlah cukup banyak.
"Sejak 2018, kejahatan dunia maya terutama kasus hoaks dan pencemaran nama baik di seluruh Polda di Indonesia mencapai 239 kasus," kata Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo.
Baca: Buzzer Hoaks Pilpres Bergaji Rp 100 Juta, Gencar Promosi Capres Melalui Media Sosial
Angka 239 tersebut, merupakan angka akumulasi yang terdiri atas 220 kasus pencemaran nama baik dan 19 kasus hoaks.
"Setelah kami melakukan berbagai penangkapan, ada kecenderungan trennya memang agak menurun. Namun jika dibandingkan di bulan yang sama antara tahun 2018 dan tahun ini, tetap lebih tinggi kasusnya pada tahun ini," kata Dedi.
Para buzzer yang ditangkap kepolisian, bermacam-macam dalam hal struktur dan juga latar belakang.
Baca: Krishna Murti Puji PSM Makassar Setinggi Langit, Tanggapan Marc Klok Jadi Perbincangan
Periwira tinggi bintang satu itu pun mengambil contoh dua kasus kejahatan siber yang sudah ditangani Dirtipid Siber Polri, yakni Saracen dan Suara Rakyat23.
"Saracen itu kan terstruktur. Kalau yang Suara Rakyat 23 ini individu. Buzzer-buzzer itu ada kreatornya. Kreator ini, bisa merangkap buzzer dalam memviralkan beberapa konten, dan narasi, atau gambar, dan kemudian diproduksi dan disebarkan lagi oleh buzzer-buzzer yang lain," kata Dedi.
Baca: Isa Anshari Divonis 6 Bulan Penjara, Terbukti Lakukan Ujaran Kebencian kepada Mantan Gubernur Kalbar
Buzzer-buzzer yang kasusnya ditangani kepolisian memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dengan rentang usia banyak di atas 40 tahun.
Karena tingkat pendidikan rendah itulah, waktu bermain atau memproduksi konten hoaks sangatlah banyak.
Admin Suara Rakyat23 berinisial JK yang pada 2018 lalu ditangkap Tim Siber Polri, misalnya, dikatakan Dedi, merupakan orang yang pendidikannya bahkan tak mencapai sarjana.
"Tapi dia ini juga hebat, bisa bikin desain dan narasi. Dia membohongi sekian banyak orang, menghasilkan uang jutaan, meskipun tingkat pendidikannya rendah," kata Dedi.
Akan tetapi, di Pemilu 2019 kali ini yang penyumbang suara juga diwakili oleh generasi milenial, konten-konten hoaks yang disebar buzzer tak mempan bagi mereka.
"Mereka ini sebagian besar tidak terkontaminasi oleh hoaks atau konten-konten asal. Apalagi mahasiswa-mahasiswa, jarang sekali yang terpapar berita bohong atau hoaks," ujar Dedi. (amriyono/reza deni)