News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

Kisah Pri 6 Tahun Lamanya Jadi Buzzer: Dapat Sepeda Motor hingga Kapok Dimarahi Istri

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengguna media sosial mengakses akunnya untuk mencari informasi dan hiburan, Jakarta, Rabu (20/2/2019).

"ISTRI saya marah terus, kalau saya pegang ponsel kelamaan."

Demikian celetukan Pri saat berbincang dengan Tribun Network di sebuah cafe di daerah Jakarta Pusat, pekan lalu.

Pria berusia 32 tahun itu merasa sudah cukup menjadi seorang Buzzer sejak 2012 dan berhenti pada Pilkada 2018 lalu.

"Kalau sehari bisa dihitung 26 jam, saya kerja segitu lamanya. Bahkan, kalau ada isu besar yang harus dinetralkan, bisa tidak tidur hanya untuk pantau media sosial," katanya.

Pri beralasan istrinya melontarkan kekesalan berulang kali karena matanya tidak bisa jauh dari ponsel.

Bahkan, tidak ada jam kerja yang jelas saat itu dan dia diminta untuk menjadi koordinator beberapa buzzer media sosial lainnya.

Hampir tidak ada waktu luang berkualitas bersama keluarganya saat kampanye berlangsung.

Ia sempat menyadari hal itu, namun tidak banyak yang bisa dilakukan.

Kontrak menjadi buzzer selama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 berlangsung sudah diterimanya.

Berpikir tentang pasangan calon dan cara memproduksi konten yang dapat menaikkan elektabilitas.

"Mau tidak mau, akhirnya keluarga tidak terurus," ungkap Pri.

Sembari menyeruput kopi hitam di hadapannya, Pri mengaku selama bekerja sebagai buzzer media sosial, dia sempat mendapatkan satu unit motor sebagai bayaran di Pilkada Jakarta 2017 oleh tim pemenangan.

Motor tersebut yang hingga kini masih dipakainya untuk operasional sehari-hari.

"Saya tidak minta uang waktu itu. Saya minta motor saja langsung untuk jadi buzzer selama kampanye Jakarta," katanya.

Baca: Menelusuri Buzzer Hoaks Pilpres Bergaji Rp 100 Juta, Donatur pun Bersedia Sumbang Dana Rp 2 Miliar

Dia menjelaskan, pekerjaan menjadi buzzer cukup menyenangkan. Bermodal paket data, rajin online dan hanya bertugas untuk menyebarkan konten adalah hal yang mudah dilakukan.

Terlebih, pekerjaan tersebut dibayar dan bisa bekerja di mana saja tanpa perlu masuk ke kantor.

Kepada Tribun Network, ia merasa rindu dengan kerja seperti itu.

"Kangen sih. Banyak hal yang seru dan lucu juga," ujarnya.

Dia menceritakan, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahwa sesama buzzer terkadang merupakan teman dekat dan saling mengenal.

Buzzer yang saling menjelekkan di media sosial berada dalam satu meja yang sama. Bahkan sempat diskusi sebelum mengunggah pernyataan.

"Iya sering malah. Saya kubu A, dia kubu B, nah kita saling serang di Medsos, tapi nyatanya kita lagi ngopi. Malah, pernah sampai 'eh, gue mau ngomong gini, nanti lo timpalin ya' jadi seru gitu. Orang-orang kan tidak tahu," ujarnya seraya tertawa kecil.

Dalam sehari, Pri bisa men-tweet hingga ratusan dan memiliki 60 akun yang berbeda.

Dia membawahi puluhan akun yang bertugas untuk memproduksi meme, video dan caption foto untuk disebarkan.

Perpindahan para buzzer dari satu pasangan calon ke pasangan calon lainnya merupakan hal yang biasa baginya.

Ia pun mengaku sering berpindah sesuai dengan permintaan atasannya.

"Ada yang masih di kubu yang sama, ada yang beda. Itu biasa," jelasnya.

Baca: Isak Tangis Keluarga saat Jenazah Tyas Korban Bunuh Diri di Transmart Lampung Tiba di Rumah Duka

Hal tersebut, bukan berarti tanpa konsekuensi. Buzzer-buzzer yang secara ideologis, akan menjauh darinya apabila berbeda dukungan, meski sebelumnya mereka berteman.

Blokir nomor telepon adalah hal yang sangat lumrah dirasakan olehnya.

"Makanya, sudah tidak mau lagi. Tidak mau lah kehilangan teman juga," tuturnya.

Saat ini, dia akan fokus dengan keluarganya dan tidak mau larut dengan pertarungan Pilpres.

Namun, dia mengaku sudah memiliki preferensi politiknya sendiri, meski tidak secara frontal ia lontarkan serta merta di media sosial miliknya.

"Sudah selesai lah. Sekarang saya urus keluarga," imbu dia.

Saling Tuding Hoaks
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan nomor Urut 01 Joko Widodo - Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga menjelaskan, tim media sosial di pihaknya tidak pernah menyebarkan konten hoaks di pertarungan udara.

Produksi konten yang dilakukan tim pemenangan lebih mengarah kepada program kerja dan visi misi dari pasangan Jokowi-Ma'ruf.

"Tidak ada yang hoaks. Produksi konten kami soal program dan apa yang sudah dilakukan Pak Jokowi," jelasnya saat dihubungi.

Kendati demikian, dia mengaku sebagai salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menyebarkan kampanye negatif dengan seluruh syaratnya.

"Ada yang produksi kampanye negatif, tapi semuanya harus dilihat dulu. Narasinya harus diperhatikan juga dan segala macamnya," lanjut dia.

Sebaliknya, Arya menuding banyak dari buzzer kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) yang memproduksi hoaks.

Beberapa isu dari BPN, sudah dicap hoaks oleh TKN dan dapat dilihat di akun resmi mereka.

"Ya mereka lebih sering. Hoaks-hoaks itu mereka yang lakukan," lanjut dia.

Tudingan tersebut dibantah Panca Cipta Laksana, Tim Komunikator Partai Demokrat yang juga anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno.

Menurut Panca, justru tim pemenangan TKN Jokowi-Ma'rut sudah melakukan penyesatan berita berulang kali.

"Kalau kami yang disalahkan, justru terbalik. Mereka itu yang lebih sering. Soal utang negara dan segala macam itu mereka hoaks," kata Panca.

Panca mengatakan, sejauh ini pihaknya memberikan data-data mengenai kritik terhadap pemerintah.

Kritik tersebut disampaikan melalui meme, narasi dan video yang dibuat oleh tim media sosial baik dari partai politik, maupun dari tim pemenangan pasangan calon.

"Kalau kampanye negatif ada juga. Itu kan sah. Yang tidak sah itu mereka yang buat hoaks," ujarnya. (amriyono)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini