TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sudah sekitar lima bulan pelaksanaan kampanye pemilu sudah berjalan sejak 23 September 2018 lalu. Namun kampanye para kontestan Pemilu masih saja didominasi informasi hoaks dan fitnah.
Hal ini disayangkan oleh para pemerhati politik. Salah satunya ialah Pengamat Politik LIPI, Syamsuddin Haris.
Syamsuddin menilai bencana pemilu seperti maraknya kabar bohong, dan saling fitnah merupakan cermin dari akumulasi kegagalan pendidikan politik di tengah masyarakat.
Partai politik, lembaga negara dan elemen pemerhati sosial yang seharusnya mengedukasi masyarakat, belum bisa bertindak signifikan mengatasi hal tersebut.
"Bagaimana pun hal itu (fitnah, hoaks) tidak mendidik juga sekaligus membodohi rakyat. Ini adalah akumulasi kegagalan pendidikan politik yang mestinya dilakukan oleh parpol dan juga negara dan elemen civil society," kata Syamsuddin dalam diskusi di Jenggala Center, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/2/2019).
Publik sebagai subjek utama berhak atas kampanye mendidik, dan mengedukasi.
Baca: Kalla: Kalau Pak Jokowi Menang Tak Usah Khawatir, Kalau yang Sebelah (Menang) Saya Tidak Tahu
Pendidikan pemilih, kebangsaan, dan cinta tanah air masih terasa begitu minim. Akibatnya minimnya edukasi itu, berita bohong dan fitnah jadi merajalela.
"Ini minim sekali. Ketika minim, maka tumbuh sumbur adalah hoaks. Berita bohong. Itu logika sederhana saja," ujar dia.
Fenomena lain yang dia contohkan yakni adanya permusuhan di tengah masyarakat bila seseorang punya pilihan berbeda dengan sahabatnya. Padahal, perbedaan pilihan politik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.
"Begitu juga dengan pilihan politik, sesuatu yang tidak bisa kita elakkan," pungkasnya.