TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei Litbang Kompas menempatkan kelompok generasi Z, yang berusia antara 17 tahun hingga 22 tahun, cenderung menjatuhkan suara ke pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019.
Pada Oktober 2018 survei Kompas mendapati 44,8% Generasi Z memilih Prabowo-Sandi dan pemilih Jokowi-Makruf berjumlah 39,3%.
Berselang lima bulan, pemilih Prabowo-Sandi dari kelompok ini melonjak jadi 47%, sedangkan Jokowi-Ma'ruf 43,3 persen. Tetapi masih ada 10 persen lebih yang belum menyatakan pilihannya, demikian survei itu.
Baca: Tanggapi Survei Litbang Kompas, PKB: Survei Internal Kami 12 Persen
Peneliti Litbang Kompas, Toto Suryaningtyas mengungkapkan survei terakhir mereka mengungkapkan bahwa, Prabowo meraih 47%, sementara Jokowi sekitar 43%, dari kalangan generasi Z.
"Kalau dari besaran angka kuantitatif yang bisa kami tangkap, bahwa pemilih dari 01 (Jokowi-Ma'ruf Amin) mayoritas adalah pemilih PDIP. Atau hampir semua pemilih PDIP, memilih (capres) 01," kata Toto kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia, Rabu (20/03).
Baca: Tangis Gading Marten Pecah Nyanyikan 'Pergilah Kasih', Penonton Mendadak Heboh
"Profil dari pemilih PDIP, adalah generasi milineal matang, sementara generasi Z dalam survei kami terpetakan hanya sedikit yang memilih PDIP," tambahnya.
Namun demikian saat ditanya apa arti temuan ini, Toto mengaku pihaknya belum menganalisis secara kualitatif mengapa Prabowo lebih banyak dipilih para remaja.
Baca: Hasil Survei Litbang Kompas - Jokowi-Maruf Unggul di Pulau Jawa, Prabowo-Sandi Menang di Sumatera
Data Badan Pusat Statistik 2017 mengungkapkan jumlah penduduk baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 15-19 tahun (berusia 17-21 tahun pada saat ini) mencapai 22,2 juta orang.
Apa sikap generasi Z yang dukung Prabowo?
Mahasiswa semester awal dari Jakarta, Faithfullah, yang berusia 19 tahun, menyebut memilih Prabowo Sandi karena ingin melihat sesuatu yang baru. Namun, ia tak menampik orangtua turut mengarahkan.
"Papa 'kan seorang guru, terus suka memberi informasi gitu, kalau Pak Jokowi kerjanya begini-begini, kalau Prabowo 'kan belum, jadi dicoba dulu saja, siapa tahu lebih bagus," katanya.
Di Yogyakarta, Raka Gani, berusia 22 tahun, mengaku akan memilih capres Prabowo. "Paslon nomer dua, pertama karena dari latar belakang orang tua, dari dulu berkiblat ke Gerindra, kedua dari saya sendiri melihat Prabowo lebih kharismatik," kata Gani berargumen.
Pengaruh keluarga juga tertanam dalam pilihan Bizathilah Klud, mahasiswa di Yogyakarta, yang berusia 18 tahun.
"Nomor dua, doktrin dari keluarga sih, kalau nomer dua itu sekolahnya dari militer, sedangkan Pak Jokowi 'kan dari sekolah biasa, Indonesia akan lebih terjaga dari pada nomer satu," katanya.
Sikap generasi Z yang memilih Jokowi
Bagi Aida Ameera, 17 tahun, pelajar SMA dari Tangerang Selatan, orangtua juga cukup berpengaruh atas pilihannya, namun dia mengaku mendapat informasi cukup banyak dari membaca.
Ini katanya soal sosok Prabowo, "Duh gimana ya, saya 'kan (pernah) ikut Kamisan, yang sudah 'dilakukannya' pada masanya itu jahat."
Di Jakarta, Putri adalah pemilih remaja lain yang akan menjatuhkan suara pada pasangan capres 01. Alasannya, kinerja Jokowi cukup berhasil membawa perubahan.
"Kalau dari saya pribadi, saya merasakan juga usaha yang dilakukan semuanya itu, kayak misalnya yang Freeport yang berhasil diambil," kata mahasiswa semester dua ini.
"Saya sih penasaran, ini kan nanggung baru satu periode, nanti Indonesia itu oleh Pak Jokowi dengan kabinet baru akan dibawa ke mana?" lanjut Putri
Pengaruh pilihan politik orangtua
Pengamat Politik dari Global Studies Northwestern University menyebut pengaruh orangtua terhadap pilihan politik Generasi Z cukup dominan.
"Generasi Z itu pada akhirnya mengikuti pilihan orang tua, walaupun mereka sangat aktif mengkonsumsi informasi di sosial media, terterpa berbagai informasi kampanye dari calon sana-sini, tapi siapa pilihannya, saya rasa masih dipengaruhi pilihan poltik orangtuanya," ujarnya kepada Arin Swandari melalui hubungan telepon, Rabu (20/03).
Kata Aulia, pengaruh pilihan orang tua juga termasuk ketika mereka cenderung terjebak dalam politik identitas yang sekarang ini sedang mengemuka.
Sementara, pengamat politik yang juga pimpinan lembaga survei Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, mengatakan peran orang tua cukup mempengaruhi pilihan politik generasi Z, tetapi tidak dominan.
Risiko yang justru lebih besar muncul jika saat pertama memilih mereka disuguhi oleh pertarungan yang penuh bumbu primodial dan SARA, katanya.
"Ketika anak-anak muda pertama kalinya dalam pemilu langsung, melihat sebuah pertarungan yang sifatnya primodial, SARA, atau ujaran kebecenian berbau sara, ini akan mendegradasi politik di mata mereka," jelas Yunarto.
Bukan sekadar soal Jokowi atau Prabowo
Yunarto menekankan pengalaman pertama mengikuti pemilu sangatlah penting bagi Generasi Z, karena akan menancapkan pola pikir tentang demokrasi Indonesia ke depan.
"Balik lagi menurut saya, gen Z ini bukan sekadar Prabowo atau Jokowi, tapi bagaimana mind set terbentuk, terkait politik atau pemilu," katanya.
"Kalau mereka melihat pemilu adalah petarungan antaretnis, antaragama, atau antar kelompok politik berdasarkan isu primodial, saya merasa pemilu ke depan akan dimaknai seperti itu oleh mereka," tambah Yunarto.
Meski demikian, Yunarto belum bisa menyimpulkan apakah generasi Z telah membentuk pola pikir seperti itu tentang pemilu. Perlu riset khusus untuk menyimpulkan, ujarnya.
Selain itu, menurut Yunarto, Generasi Z di negara mana pun cenderung menyukai 'barang baru' atau 'penantang'. Ia menduga, mereka memilih Prabowo lantaran capres 02 ini dianggap 'baru', tanpa mengetahui bahwa sesungguhnya dia merupakan produk lama.
"Titik lemah Prabowo, yaitu beban masa lalu, yang kita tahu ada di tahun '98 atau '96, terkait dengan penculikan, itu adalah masa-masa gen Z belum merasakan sama sekali," kata Yunarto.
Generasi Z lahir setelah Reformasi 1998
Saat reformasi 1998, anak-anak Generasi Z paling tua, atau kelahiran tahun 1996, baru berusia tiga tahun, ungkapnya.
"Di Level persepsi tidak pernah dirasakan anak-anak ini. Jadi ini bukan mengenai (capres) Sandiaga, tapi lebih pada posisi oposisi dan penantang dan kedua beban masa lalu Prabowo yang tertutupi," tegas Yunarto.
Kondisi ini menurutnya mampu dimanfaatkan pasangan capres Prabowo-Sandi.
Sementara kubu Jokowi kurang mampu menyampaikan narasi tentang Prabowo yang disebutnya merupakan produk lama, produk yang di banyak negara tidak disukai anak-anak muda.
"Ini yang dilupakan oleh tim 01, membangun sebuah masa lalu, sebagai pengungkapan fakta yang itu harus disasar secara khusus pada generasi Z ini," lanjutnya.
Yunarto menyebut masih ada waktu bagi TKN Jokowi Makruf untuk membangun narasi baru yang bisa mengubah persepsi tentang Prabowo yang sekarang dianggap sebagai sosok baru pembawa perubahan karena posisinya sebagai penantang.