TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang tinggal menghitung hari, mantan anggota DPR RI yang juga Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Sumaryoto Padmodiningrat mengimbau agar Kepolisian RI (Polri) dikembalikan ke tupoksi atau tugas pokok dan fungsinya.
“Jangan seret Polri ke politik praktis,” ucapnya di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Ia diminta komentar soal fenomena ketidaknetralan Polri dalam Pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April mendatang.
Mantan Kapolsek Pasirwangi, Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz, misalnya, mengklaim bahwa ia dan seluruh Kapolsek di Garut mendapat perintah dari Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna untuk memenangkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Maruf Amin di Pilpres 2019, namun hal ini dibantah Budi Satria Wiguna.
Baca: Maruf Amin Cerita Soal Jokowi yang Mengaku Orang Desa dan Bukan Anak Orang Kaya
Lalu, Kapolres Kota Bima, NTB, AKBP Erwin Ardiansyah yang mengklaim namanya dicatut dalam sebuah grup Whatsapp.
Dalam grup itu, nama Kapolres Kota Bima dituduh memerintahkan Kapolsek agar memasang baliho Jokowi-Maruf Amin.
Bila fenomena itu benar, kata Sumaryoto, maka Polri bukan saja mencederai demokrasi, melainkan juga motto Polri sendiri, yakni “Promoter” (Profesional, Modern, dan Terpercaya).
“Sebab itu, harus diusut apakah klaim-klaim itu benar atau tidak. Jika benar Polri berpihak, maka harus dikenakan sanksi. Sebaliknya, jika klaim itu tidak benar, atau Polri difitnah, maka pelakunya juga harus diproses secara hukum,” jelasnya.
Netralitas Polri, jelas Sumaryoto, sudah diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang Polri, yakni, pertama, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis; kedua, anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih; dan ketiga, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Secara internal, lanjut Sumaryoto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahkan telah menerbitkan Surat Telegram No STR/126/III/OPS.1.1.1./2019 tertanggal 18 Maret 2019 di mana ada 14 poin larangan bagi anggota Polri yang wajib dipedomani untuk menjaga perilaku netral.
Polri, tegas Sumaryoto, harus dikembalikan ke tupoksinya, sesuai Pasal 13 UU Polri, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. “Jadi, Polri jangan sampai terlibat politik praktis, misalnya dukung-mendukung calon tertentu, karena kalau sudah begitu, netralitas Polri akan bias,” paparnya.
Khusus untuk Pemilu/Pilpres 2019, Sumaryoto menyarankan agar Polri berpegang pada empat strategi yang telah disusunnya agar pemilu/pilpres berjalan lancar, aman, dan damai.
Keempat strategi tersebut, pertama, Polri membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Operasi 'Mantap Brata', dan satgas ini telah mengerahkan 272.880 personel guna melaksanakan pengamanan terhadap potensi kerawanan pada setiap tahapan pemilu.
Kedua, Polri telah membentuk Satgas Nusantara untuk menangani berita-berita bohong (hoax) atau ujaran kebencian (hate speech), penghinaan, serta penyalahgunaan media sosial selama Pemilu/Pilpres 2019.
Ketiga, Polri telah membentuk Satgas Anti-Politik Uang dengan menjalin kerja sama dengan sejumlah institusi terkait untuk mencegah dan memberantas praktik politik uang (money politics) saat Pemilu/Pilpres 2019. Satgas ini bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kejaksaan Agung untuk mencegah dan memberantas money politics.
Keempat, Polri telah membentuk Satgas Penegakan Hukum lain untuk operasi penanggulangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Polri juga telah melancarkan operasi Tinombala untuk melaksanakan penanggulangan terorisme di wilayah Sulawesi Tenggara.
“Alhasil, Polri jangan menyimpang dari tugas-tugas yang sudah digariskan oleh undang-undang dan peraturan lainnya,” terang Sumaryoto yang juga pengusaha ini.
Bila semua pihak sudah melaksanakan tugas masing-masing dengan baik, ucap Sumaryoto, maka siapa pun pemenang Pilpres 2019, apakah pasangan nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin ataukah nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, harus diterima dengan legawa oleh seluruh elemen bangsa ini.
"Bila ada sengketa, silakan daftarkan ke Mahkamah Konsitusi (MK), bukan dengan people power," tandasnya menyindir ide Ketua Majelis Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang akan mengerahkan massa atau people power untuk menolak hasil Pilpres 2019 bila ada kecurangan.