TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menilai, peryataan Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Amien Rais soal akan menggunakan "people power" jika terjadi kecurangan Pemilu merupakan tindakan di luar konstitusi.
Ia mengatakan, Undang-Undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum telah mengatur mekanisme penanganan pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu dan perselisihan hasil pemilu bahkan pidana pemilu.
"Maka siapapun peserta pemilu yang dirugikan jika terbukti dicurangi bisa mengajukan gugatan sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan dan undang-undang," kata Karyono Wibowo kepada Tribunnews, Selasa (2/4/2019).
Pernyataan Amien tersebut, kata Karyono, bisa dinilai sebagai salah satu bentuk provokasi untuk memengaruhi masyarakat agar ikut bergerak untuk menolak hasil pemilu dengan cara aksi demonstrasi.
"Cara tersebut tidak mendidik rakyat tentang nilai-nilai demokrasi. Justru sebaliknya, merupakan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi dan konstitusi," ucap Karyono.
Karyono menyebut, Amin Rais sebagai salah satu tokoh bangsa harus mendidik rakyat agar memahami dan melaksanakan demokrasi yang konstitusional.
Ia juga menyoroti bagaimana "people power" pernah terjadi dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia, di Philipina, dan di sejumlah negara lainnya, tetapi kondisi obyektif dan subyektifnya berbeda.
Terjadinya people power, lanjut Karyono, di masing-masing negara dan disetiap zaman berbeda. Tapi pada umumnya, syarat terjadinya people power adalah jika telah terjadi pertemuan dan pertautan antara faktor obyektif dan subyektif.
"Faktor objektif menggambarkan adanya realitas seperti kemiskinan yang akut, pembungkaman hak berpendapat, berserikat dan berkumpul, pemerintahan yang sewenang-wenang, kepemimpinan yang sudah tidak bisa dipercaya dan biasanya ditambah lagi dengan adanya faktor krisis," kata Karyono.
"Sedangkan faktor subjektif yaitu adanya kepeloporan pemimpin yang dipercaya rakyat untuk menggerakkan, melaksanakan sekaligus mengendalikan dan mengontrol jalannya perubahan," tambahnya.
Ia juga menilai, Amien Rais mungkin ingin beromantisme dengan peristiwa reformasi 98 yang situasi dan kondisinya tidak sama dengan kondisi sekarang.
"Saya berharap jangan sampai pak Amien Rais mendapat stigma dari masyarakat sebagai tokoh yang mengalami Post Power Syndrome," pungkasnya.