TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Praktik serangan fajar dengan membagi-bagikan uang kepada calon pemilih pada fase mendekati hari H coblosan masih tinggi terjadi di pedesaan di Jawa Timur.
Surokim Abdussalam, dosen komunikasi politik dan dekan FISIB Universitas Trunojoyo Madura (UTM) mengatakan, potensi melakukan politik uang di Jatim masih tinggi khususnya untuk Pileg.
Berdasarkan data survei yang ia lakukan, meski potensi politik uang tinggi di Jatim, bagi-bagi uang relatif tidak berpengaruh bagi pemilih di Jawa Timur. Bahkan efektivitas money politics di Jawa Timur hanya di angka 19 persen.
"Money politics kita itu double track. Money politics langsung ke pemilih dan money politics ke struktur. Dua duanya ada jaringan yang sudah beroperasi dan menjadi habit di masyarakat kita," kata Surokim pada Surya.co.id, Senin (15/4/2019).
Dia melanjutkan, money politics di kawasan urban atau perkotaan akan menurun di Pemilu 2019 ini, tetapi di wilayah rural atau pedesaan pedalaman masih tinggi.
Money politics double track itulah yang membuat biaya politik kian besar. Wilayah Madura dan Pandalungan tercatat sebagai daerah yang paling besar biaya money politics di Jawa Timur.
"Tapi, sejauh ini efektivitas money politics secara keseluruhan di Jatim hanya 19 persen. Itu artinya dari 100 amplop yang dibagikan yang efektif mau mencoblos yang ngasih hanya 19 amplop. Selebihnya tidak. Bahkan 40 persen akan menerima uangnya dan akan memilih yangg lain untuk menghukum yang memberi uang. Sedangkan di perkotaan angkanya turun hanya 17 persen efektivitasnya," tegas Surokim yang juga peneliti di Surabaya Survey Center (SSC) ini.
Di sisi lain, dia menyebut, jika melihat angka undecided voters yang masih di angka 11 persen dan swing voters yang ada di angka 24 persen, menurutnya perubahan pilihan masih dinamis hingga besok malam.
Baca: Penjelasan KPU Atas Beredarnya Exit Poll Pemilihan Luar Negeri: Jangan Jadikan Acuan
Pergerakan undecided voters dari 13 persen ke 11 persen saat ini menurutnya juga lambat, sehingga ia menduga bahwa pemilih rasional ada dalam kondisi kritis.
Jadi perubahan pilihan masih mungkin terjadi ber
Baca: BPN Himbau Masyarakat Tak Mudah Terpancing Kabar Hoax di Masa Tenang
gantung dari dinamika politik yang berkembang. Lambatnya pergerakan itu dikatakan Surokim membuat prediksi menjadi rumit.
"Menurut saya serangan fajar masih akan tetap tinggi untuk case Pileg khususnya di pedesaan dan jumlah uangnya kian besar. Saya bocori ya, jika sebelumnya hanya Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu, kini masyarakat Jatim rata-rata menginginkan Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu. Tapi ya itu tadi efektivitasnya hanya 19 persen," urainya.
Money politics dikatakan Surokim yang efektif itu adalah diberikan langsung dengan disertai simulasi mencoblos dan itu pun masih harus melihat peta dukungan area wilayah dapil.
Menurutnya, seiring dengan meningkatnya pengawasan penyelenggaraan Pemilu saat ini, ruang gerak praktik Money politics akan kian berkurang.
"Saya rasa politik uang ini akan berkurang. Apalagi kampanye ini panjang, rata-rata caleg sudah kehabisan biaya untuk melakukan money politics," katanya.
Sedangkan di perkotaan, ia mengatakan ruang gerak caleg nakal jelas terbatas. Sehingga yang masih terbuka peluang adalah di pedesaan. Padahal semua tahu modal caleg di dapil pedesaan biasanya tidak sekuat modal ekonomi caleg di dapil urban.
"Angka undecided dan swing voter Pileg lebih besar lagi. Itu memang peluang diserang politik uang, ya tapi sekali lagi hati-hati perilaku memilih masyarakat kian berkembang rasional dan mereka bisa menghukum pelaku money politics dengan menerima uang tapi tidak memilihnya. Kata mereka itu merupakan bentuk hukuman untuk caleg yang tidak jujur," ujar Surokim.
Penulis: Fatimatuz Zahro
Artikel ini tayang di surya.co.id dengan judul Politik Uang hanya Berpengaruh 19 Persen di Jawa Timur, Potensi Tinggi Terjadi di Pedesaan