TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa'adi, menegaskan MUI tidak memiliki keterkaitan baik secara program maupun kelembagaan dengan Ijtima Ulama III.
"Sehingga MUI tidak memiliki tanggung jawab langsung maupun tidak langsung terhadap poses pelaksanaan maupun hasil keputusan," kata Zainut Tauhid, dalam keterangannya, Jumat (3/5/2019).
Menurut dia, apabila ada pengurus MUI yang mengikuti kegiatan tersebut maka dipastikan kehadirannya tidak mewakili institusi MUI. Tetapi, kata dia, kehadiran tersebut atas nama pribadi.
Dia mengatakan, MUI memiliki forum Ijtima' Ulama yang dikenal dengan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali.
Ijtima' Ulama Komisi Fatwa diikuti oleh pimpinan Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia, Pimpinan Komisi Fatwa dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, Pimpinan dan pengasuh pondok pesantren, pimpinan lembaga Islam dan utusan perguruan tinggi agama Islam sehingga keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI memiliki tingkat representasi dan kedudukan yang sangat tinggi.
Dia menjelaskan, Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI membahas dan menetapkan berbagai masalah keagamaan dan kebangsaan. Fatwa atau pendapat keagamaan MUI terdiri dari masalah keagamaan sehari-hari (waqi’iyah), masalah keagamaan yang bersifat tematis (maudhu’iyah) dan masalah perundang-undangan (qanuniyah) serta masalah strategis kebangsaan lainnya.
"Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI tidak membahas masalah politik praktis," kata dia.
Baca: Pengamat: Ada Sinyal Demokrat Bakal Merapat ke Kubu Jokowi
MUI menghormati perbedaan aspirasi politik umat Islam dan mendorong agar umat menyikapi perbedaan tersebut dengan cara dewasa dan tidak menimbulkan perpecahan.
Untuk itu, kata dia, MUI kembali mengingatkan kepada semua pihak bahwa Pemilu merupakan agenda nasional yang harus kita kawal dan sukseskan bersama.
"Kita harus memastikan bahwa seluruh tahapan pemilu berjalan dengan demokratis, jujur, adil dan sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan," kata dia.
Selain itu, dia melanjutkan, tidak boleh atas nama apa pun agenda kenegaraan yang sangat penting ini terganggu apalagi diintervensi oleh kelompok kepentingan yang memiliki niat jahat akan membelokkan arah demokrasi di Indonesia.
Di kesempatan itu, dia mengimbau kepada semua pihak untuk menaati konsensus nasional yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Menyerahkan penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
"Sehingga mekanisme pergantian kepemimpinan nasional lima tahunan berjalan dengan tertib, lancar, aman dan tidak menimbulkan gejolak yang dapat mengganggu keamanan dan keselamatan bangsa dan negara," tambahnya.
Untuk diketahui, Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional 3 telah memutuskan lima rekomendasi. Di antaranya, pertama, Ijtima Ulama menyimpulkan bahwa telah terjadi kecurangan dan kejahatan bersifat terstruktur, sistematis dan masif dalam proses penyelenggaraan pemilu 2019.
Kedua, mendorong dan meminta kepada Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal, prosedural tentang terjadinya berbagai kecurangan dan kejahatan, terstruktur sistematis dan masif dalam proses pemilihan presiden 2019.
Ketiga, mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan membatalkan, atau mendiskualifikasi paslon capres-cawapres 01.
Keempat, mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum secara syar'i dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan kejahatan serta ketidakadilan termasuk perjuangan pembatalan/diskualifikasi paslon capres-cawapres 01 yang ikut melakukan kecurangan dan kejahatan dalam Pilpres 2019.
Kelima, bahwa memutuskan melawan kecurangan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amal ma'ruf nahi munkar, konstitusional dan sah secara hukum dengan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan rakyat.