TRIBUNNNEWS.COM - Sidang ketiga Mahkamah Konstitusi tentang Sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 saat berita ini ditulis masih terus berlangsung, Rabu (19/6/2019).
Sidang kali ini dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang diajukan oleh pemohon, kuasa hukum 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Terdapat sejumlah hal menarik dari jalannya sidang.
Berikut rangkuman sidang ketiga sengeketa Pilpres 2019 di MK:
1. Tim Hukum 02 Hadirkan 15 Saksi
Tim hukum 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menghadirkan 15 saksi dan 2 saksi ahli dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), hari ini, Rabu (19/6/2019).
Sebagaimana disaksikan jalannya sidang yang ditampilkan melalui layar kaca, sejumlah nama saksi telah dipanggil masuk ke ruang sidang MK.
Baca: Saksi Merasa Terancam, Hakim MK Palguna: Kenapa Tidak Lapor Polisi?
Para saksi juga telah diambil sumpahnya di muka persidangan.
Di antara nama-nama saksi yang didatangkan oleh tim hukum 02, ada sejumlah nama yang familiar, seperti Muhammad Said Didu dan Haris Azhar.
Namun, Said Didu dan Haris Azhar datang terlambat dan belum ikut disumpah.
Berikut nama-nama saksi dan saksi ahli dari tim hukum Prabowo-Sandiaga
Saksi:
1. Agus Maksum
2. Idham
3. Hermansyah
4. Listiani
5. Nur Latifah
6. Rahmadsyah
7. Fakhrida Arianti
8. Tri Susanti
9. Dimas Yehamura
10. Beti Kristiana
11. Tri Hartanto
12. Risda mardiana
13. Haris Azhar
14. Said Didu
15. Hairul Anas Suaibi
Saksi Ahli:
1. Jaswar Koto
2. Soegianto Sulistiono
2. Saksi Agus Maksum mengaku dapat ancaman
Saksi tim Prabowo-Sandiaga, Agus Maksum mengaku mendapatkan ancaman, tapi tidak terkait sengketa di Pilpres 2019.
Agus mengaku, pernah mendapatkan ancaman pada awal April 2019 yang artinya jauh sebelum pasangan Prabowo-Sandiaga mendapatkan permohonan sengketa Pilpres 2019 ke MK.
"Saya menerima ancaman sekitar bulan April," ujar Agus.
Agus enggan untuk menyebut siapa pihak yang mengancamnya.
Namun, Agus mengatakan, ancaman tersebut diterima terkait dengan posisinya di tim Prabowo-Sandiaga yang mendalami masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Baca: Mahfud MD Sebut Sidang Sengketa Hasil Pilpres di MK Sudah On The Track. Ini Indikatornya
Ia juga mengaku tidak melaporkan adanya ancaman ke pihak kepolisian dan hanya memberitahukan soal ancaman itu ke anggota BPN, satu di antaranya Hashim Djojohadikusumo.
Saat Hakim Aswanto menanyakan apakah Agus mendapat tekanan dan dihalang-halangi untuk memberikan kesaksikan di MK, saksi menjawab tidak.
3. Saksi 02 persoalkan 17,5 juta DPT bermasalah
Saksi Agus Maksum mempersoalkan DPT 17,5 juta yang bermasalah.
Menurut Agus, ada ketidakwajaran data pemilih dalam jumlah tersebut.
Satu di antaranya, tanggal lahir pemilih yang sama.
"Ada 17,5 juta NIK palsu, di mana tanggal lahir yang tidak wajar," ujar Agus.
Menurut Agus, dari 17,5 juta DPT, terdapat 9,8 juta pemilih yang tanggal lahirnya sama, yakni pada 1 Juli.
Kemudian, ada 5,3 juta yang lahir pada 31 Desember.
Selain itu, ada 2,3 juta yang lahir pada 1 Januari.
"Itu tidak wajar, karena yang lahir 1 Juli itu ada 20 kali lipat dari data normal," kata Agus.
Agus mengatakan, dia pernah berkoordinasi dengan ahli statistik dan dikatakan, data itu tidak wajar.
Agus memperkirakan dengan menghitung 195 juta pemilih dibagi 365 hari.
Menurut Agus, angka wajar yang lahir pada 1 Juli adalah 520.000.
Dia mengaku juga pernah berkoordonasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, menurut Agus, KPU dan Direktorat Jenderal Kependudukan pernah menyatakan, informasi itu benar.
Baca: Tim Jokowi-Maruf Tanya 1 Hal ke Agus Maksum, Tiga Hakim MK:Apa yang Ingin Anda Kejar?
Sebab, sesuai aturan, jika ada pemilih yang tidak ingat tanggal lahirnya, maka akan diberikan tanggal lahir oleh Ditjen Dukcapil.
Agus dapat menerima penjelasan itu.
Namun, menurut dia terdapat ketidakwajaran, karena jumlahnya terlalu besar.
Menurut perhitungan Agus, seharusnya yang dicatat lahir pada 1 Juli jumlahnya hanya 520.000 saja.
"Jadi alasan itu kami terima. Yang jadi tidak betul jumlahnya yang banyak 9,8 juta. Itu yang jadi atensi khusus," kata Agus.
4. Hakim MK tegur kuasa hukum 01
Hakim MK menegur anggota tim kuasa hukum paslon 01, Sirra Prayuna dalam lanjutan sidang sengketa Pilpres 2019.
Hakim MK menilai pertanyaan yang diajukan Sirra menjebak saksi dari tim Prabowo-Sandiaga, Agus Maksum.
Awalnya, Sirra menanyakan apakah Agus memahami instrumen apa yang digunakan untuk memvalidasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) ke Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Sebelum Agus sempat menjawab, Hakim MK I Dewa Gede Palguna menginterupsi.
Palguna menanyakan, apa yang ingin dikejar oleh kuasa hukum pihak terkait melalui pertanyaan tersebut.
"Saya Majelis dari tadi berpikir apa yang mau Saudara kejar dengan pertanyaan Saudara ini?" tanya Palguna.
Sirra menjelaskan dirinya ingin menguji validitas dari data yang dipaparkan oleh Agus, misalnya soal data DPT bermasalah sebanyak 17,5 juta.
"Tapi apa perlu melingkar sejauh itu coba bisa enggak, lebih to the point supaya lebih efektif?" tambah Palguna.
Kemudian, Hakim MK Aswanto meminta Sirra mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan posisi Agus sebagai saksi.
Ia juga meminta kuasa hukum tidak menggunakan pertanyaan yang menjebak saksi untuk berpendapat.
"Saya ingin ingatkan juga ini adalah saksi fakta. Dia bukan ahli. Pertanyaan kita jangan untuk ahli."
"Kalau saudara menanyakan titik mana itu untuk ahli itu. Dia gak ngerti. Supaya imbang, pertanyaan kita juga jangan menjebak untuk dia berpendapat," kata Aswanto.
5. Fisik Barang Bukti Tuduhan DPT 17,5 Juta Bermasalah Tak Ada
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan barang bukti P.155 berupa dokumen terkait tuduhan 17,5 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah.
Bukti tersebut ternyata tidak ada dalam bukti fisik yang diserahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini kan kemarin sudah diverifikasi barang bukti, muncul P.155 yang disebut mengenai data 17,5 juta pemilih yang tidak wajar," ujar Enny.
Menurut Enny, bukti tersebut diperlukan untuk dikonfrontasi dengan bukti yang dimiliki termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum ( KPU).
Menurut hakim Aswanto, dalam daftar bukti pemohon yang sudah diverifikasi, tercantum bukti P.155 tersebut.
Namun, setelah dicari, fisik bukti berupa dokumen itu tidak ada.
Tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengatakan, anggota tim yang bertugas menangani barang bukti sedang mengurus verifikasi dokumen.
Hakim kemudian memberikan waktu hingga skors istirahat selesai bagi tim pemohon untuk mempersiapkan barang bukti yang diminta hakim.
6. Hakim MK Ancam Usir BW Keluar Sidang
Hakim MK, Arief Hidayat sempat mengancam Bambang Widjojanto untuk keluar dari persidangan jika tidak menghentikan ucapannya yang membela saksi.
Saat itu, Arief Hidayat bertanya pada saksi pemohon mengenai keberadaannya saat Pilpres 2019.
Saksi yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandiaga Uno menyatakan ia berada di kampung saat itu.
Hakim Arief pun bertanya apakah saksi akan menjelaskan berhubungan DPT di kampung saksi bukan berhubungan DPT nasional.
Sampai pada akhirnya, Ketua Tim Hukum Prabowo-Subianto, Bambang Widjojanto kemudian bersuara untuk membela saksi.
Arief kemudian meminta BW tak melanjutkan ucapannya atau bakal dikeluarkan dari sidang.
Simak videonya di bawah ini:
7. Haris Azhar Batal Bersaksi
Salah satu saksi BPN, Haris Azhar yang sebelumnya sempat diajukan sebagai saksi batal bersaksi.
Dikutip dari wawancara KompasTV dengan Haris Azhar, Haris menyatakan sebetulnya ia sudah diminta menjadi saksi jauh-jauh hari dan ia menyatakan siap.
Namun, ia akhirnya tak bersedia bersaksi karena surat pemberitahuan yang disampaikan oleh BPN mendadak.
Haris mengaku, awalnya yang diminta bersaksi adalah mantan Kapolsek Pasirwangi, Garut, AKP Sulman Aziz.
Haris Azhar yang menjadi pengacara Sulman Aziz diminta bersaksi oleh Sulman Aziz.
Namun, surat permintaan bersaksi dari BPN ke Sulman Aziz disampaikan mendadak Selasa malam tadi.
"Saya merasa undangan ke Sulman Aziz terlalu mendadak," kata Haris.
(TribunSolo.com/Fachri Sakti Nugroho/Sri Juliati/Rizal Bomantama) (Kompas.com/Abba Gabrillin/Kristian Erdianto)