TRIBUNNEWS.COM - Sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa hasil Pilpres 2019 masih berlangsung Kamis (27/6/2019) sejak pukul 12.30 WIB.
Dalam sidang ini, MK akan memutuskan apakah permohonan yang diajukan oleh Tim Hukum calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandi diterima atau ditolak.
Dalam gugatannya tim hukum Prabowo-Sandi menilai pihak Jokowi-Ma'ruf telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Hingga berita ini ditulis, sejumlah dalil permohonan tim hukum Prabowo-Sandi terkait sengketa hasil Pilpres 2019 ditolak oleh MK.
Berikut sejumlah dalil permohonan tim hukum Prabowo-Sandi yang ditolak oleh MK dalam sidang putusan sengketa hail Pilpres 2019 yang Tribunnews.com rangkum dari Kompas.com.
Baca: Orator Aksi Kawal Sidang MK Singgung Kekalahan Ahok di Pilkada DKI
Baca: Refly Harun Yakin Hasil Sidang Putusan MK Tolak Permohonan Tim Hukum Prabowo-Sandi
Baca: Saksikan Sidang MK, Maruf Amin Plong Tanpa Beban
1. Dugaan kecurangan Jokowi-Ma'ruf melalui ajakan kenakan 'baju putih'
Tim hukum Prabowo-Sandi mempermasalahkan ajakan Jokowi-Ma'ruf kepada masyarakat untuk menganakan baju putih saat datang ke Tempat Pemungutan Suara pada 17 April lalu.
Kubu 02 menilai ajakan tersebut melanggar salah satu asas pemilu, yakni rahasia.
Dengan mengenakan baju putih, kubu 02 menilai pilihan masyarakat dengan mudah diketahui dan tak lagi menjadi rahasia.
Majelis hakim konstitusi pun menolak dalil tersebut.
Menurut MK, tim 02 tidak menguraikan lebih jauh apa hubungan dan korelasi antara ajakan tersebut dengan perolehan suara.
Baca: Hasil Sidang Putusan MK, Dalil Prabowo-Sandi soal Ajakan Berbaju Putih Ditolak
Baca: Ketua MK Sebut akan Mempertanggungjawabkan Putusan Sidang Kepada Allah, Ini 15 Petitum Prabowo-Sandi
2. Politik uang dengan menaikkan gaji PNS, TNI dan Polri
MK tidak setuju dengan dalil yang disampaikan tim hukum 02 mengenai dugaan kecurangan yang dilakukan Jokowi-Ma'ruf berupa politik uang.
Tim hukum 02 menilai adanya kecurangan yang dilakukan oleh kubu 01 berupa penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Salah satunya terkait kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri.
"Dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum," ujar hakim Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan di MK, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Menurut MK, pemohon tidak merujuk definisi hukum mengenai money politics dalam materi permohonannya.
Hal tersebut membuat dalil pemohon menjadi tidak jelas, apakah dalil itu sebagai modus politik uang atau vote buying.
Menurut hakim, pemohon hanya menggunakan frasa patut diduga untuk mengaitkan kenaikan gaji dengan pengaruhnya atas pilihan dukungan PNS, TNI, dan Polri.
Dengan kata lain, pemohon hanya mendasarkan pada logika dan nalar untuk membuktikan permohonannya.
"Sangat tidak mungkin bagi Mahkamah untuk mengakui dalil tersebut sebagai money politics."
"Hal itu juga tidak memengaruhi perolehan suara yang merugikan pemohon," kata Arief.
Baca: Ada Putusan Sidang MK, Penumpang KA di Stasiun Gambir Diimbau Berangkat Lebih Awal
Baca: Sidang MK - Kondisi Terkini Jakarta, Polisi Sebut Massa Aksi di MK Sebagian Besar Bukan dari Jakarta
3. Dukungan kepala daerah kepada Jokowi-Ma'ruf
MK juga menolak dalil tim hukum 02 yang mempermasalahkan dukungan sejumlah kepala daerah kepada Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019.
Tim hukum 02 menilai dukungan sejumlah kepala daerah dapat menjadi bukti adanya pelanggaran TSM.
Dalam sidang, majelis berpendapat, MK bisa menangani pelanggaran pemilu jika lembaga-lembaga penegak hukum yang diberi kewenangan tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut.
Karena itu, MK melihat terlebih dulu apakah dalil soal dukungan para kepala daerah tersebut ditangani atau tidak oleh lembaga lain.
Menurut Mahkamah, hampir seluruh hal yang dipermasalahkan tim 02 merupakan kewenangan Bawaslu.
Hakim Wahiduddin Adams kemudian memaparkan putusan Bawaslu terkait kasus-kasus yang melibatkan sejumlah para kepala daerah.
Putusan Bawaslu, ada aduan yang tidak diproses karena tidak ditemukan pelanggaran.
Ada pula yang terbukti melanggar aturan netralitas PNS atau UU Pemda.
Selain itu, ada pula kepala daerah yang terbukti melanggar UU Pemilu.
"Ternyata Bawaslu sudah melaksanakan kewenangannya, terlepas dari apapun putusan Bawaslu," ucap Wahiduddin.
Adapun mengenai kesaksian soal ketidaknetralan ASN yang disampaikan para saksi 02 di persidangan MK, menurut Mahkamah, ternyata sudah diputuskan oleh Bawaslu.
Selain itu, ada pula kesaksian yang tidak jelas, apakah sudah dilaporkan atau tidak ke Bawaslu.
Dengan demikian, Mahkamah menolak dalil tersebut.
"Apa yang didalilkan pemohon sebagai pelanggaran yang bersifat TSM tidak terbukti dan oleh karena itu Mahkamah berpendapat dalil a quo tidak beralasan menurut hukum," kata hakim Wahiduddin Adams.
4. Alat bukti fotokopi berita online
MK menilai fotokopi berita online yang dibawa oleh tim hukum Prabowo-Sandi tak serta-merta dapat dijadikan alat bukti.
"Dugaan polisi mendata kekuatan dukungan seorang Presiden hingga ke desa seluruhnya hanya berupa fotokopi berita online yang tidak serta merta dapat dijadikan bukti bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi tanpa didukung oleh bukti lain," kata Hakim Aswanto.
Sekalipun peristiwa tersebut benar terjadi, menurut Majelis, masih harus dibuktikan dengan bukti lain yang menyatakan adanya pengaruh terhadap pemilih.
Bukti berupa berita online juga digunakan oleh Tim Hukum Prabowo terkait tudingan penggalangan dukungan terhadap paslon 01 sebagaimana pengakuan Kapolsek Pasirwangi, Garut Jawa Barat.
"Demikian pula bukti berupa berita online yang menyatakan dugaan adanya penggalangan dukungan terhadap paslon 01, sebagaimana pengakuan Kapolsek Pasirwangi, Garut, Jawa Barat, dalam persidangan Bawaslu mengtakan hal itu tak bisa dijadikan temuan karena tak memenuhi syarat formil dan materil," ujar Aswanto.
5. Soal pembukaan kotak suara
Kubu 02 menilai telah terjadi kecurangan dalam Pilpres 2019 berupa pembukaan kotak suara.
Namun, MK meragukan barang bukti yang diajukan oleh tim hukum 02.
"Pemohon mendalilkan terjadinya pembukan kotak suara tersegel di parkiran Alfamart, sehingga patut diduga kotak suara tersebut sengaja dibuka dan ditukar dengan kotak suara lain," kata hakim Aswanto.
MK menilai bukti itu tidak valid karena tak ada keterangan tambahan terkait video tersebut.
Misalnya, tim 02 tak mampu membuktikan siapa petugas di video tersebut.
Juga tidak jelas di mana lokasi video tersebut diambil.
Tidak dijelaskan juga apa korelasi video itu dengan perolehan suara capres 01 dan capres 02.
"Validitas video itu diragukan," ujar Aswanto.
6. Soal kedekatan BIN dengan Megawati
Tim hukum 02 mempersoalkan kedekatan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Kubu 02 menilai itu sebagai bentuk ketidaknetralan BIN dalam Pilpres 2019.
Namun, MK menilai kedekatan Megawati dengan Budi Gunawan tidak relevan dijadikan bukti kecurangan Pilpres 2019.
"Dalil kedekatan kepala BIN Budi Gunawan dengan PDI-P dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri adalah tidak relevan dengan pemilu," kata hakim MK Arief Hidayat.
Mahkamah juga berpendapat, hadirnya Budi Gunawan selaku Kepala BIN di acara ulang tahun PDI-P merupakan suatu yang biasa.
Sebab, acara tersebut juga dihadiri oleh pejabat negara lainnya.
Kehadiran Budi Gunawan itu tidak dapat diartikan, BIN tidak netral dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
"Berdasarkan hal tersebut dalil pemohon tidak dapat dibuktikan, dan dinyatakan tidak beralasan menurut hukum," ujar Arief.
7. TPS Siluman
Dalil mengenai adanya kecurangan melalui 'TPS Siluman' juga ditolak oleh MK.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Saldi Isra.
Menurut Majelis, kubu Prabowo tidak mampu menunjukkan di daerah mana TPS siluman tersebut berada.
Paslon nomor urut 02 juga dinilai tidak menerangkan bagaimana penggelembungan suara dilakukan dan untuk keuntungan siapa.
"Bahwa dalil pemohon demikian menurut Mahkamah tidak dapat diperiksa lebih lanjut karena pemohon tidak menguraikan lokasi TPS yang disebut pemohon sebagai TPS siluman, termasuk pemilih yang memilih di TPS tersebut," ujar Saldi.
8. Perolehan nol suara di beberapa TPS
Tim hukum 02 mempermasalahkan perolehan nol suara untuk pihaknya di beberapa TPS saat Pilpres 2019.
Dalam pertimbangannya, tim hukum Prabowo-Sandiaga menyebut ada sekitar 5.268 TPS di mana suara Prabowo-Sandiaga nol.
Tim 02 merasa hal itu mustahil terjadi. Ada indikasi kuat terjadi kecurangan.
Menurut Mahkamah, berdasarkan permohonan, terlihat bahwa tim 02 tidak bisa memastikan jumlah TPS yang dipersoalkan.
Hal itu terlihat dari diksi yang digunakan, yakni 'hampir di sebagian Jawa Timur dan Jawa Barat'.
"Dengan kata lain, pemohon sendiri ragu," ucap Hakim Manahan MP Sitompul.
Menurut Mahkamah, dengan diksi tersebut, tim 02 memberi beban kepada MK untuk membuktikan dalil.
Selain itu, menurut MK, pemohon tidak dapat menunjukkan secara spesifik di TPS mana saja dimana 02 mendapat suara nol.
Kalau pun benar ada 5.268 TPS dimana suara Prabowo-Sandiaga nol, menurut Mahkamah, hal itu tidak serta merta bisa dikatakan mustahil.
Mahkamah memberi contoh berdasarkan bukti yang diserahkan KPU.
Faktanya, Jokowi-Ma'ruf juga tidak mendapat suara di sejumlah TPS.
Satu di antanya daerah Ketapang, Sampang, Madura.
"Dengan demikian, dalil pemohon yang menyatakan bahwa nol suara merupakan hal yang mustahil adalah dalil yang tidak terbukti sehinga dalil pemohon a quo tidak beralasan hukum," kata Manahan.
9. Hasil penghitungan suara versi Prabowo-Sandi
Prabowo-Sandi meminta MK menetapkan hasil pemilihan presiden sesuai versi perhitungan mereka, yaitu Jokowi-Ma'ruf mendapat 63,57 juta (48 persen) dan pasangan Prabowo-Sandiaga 68,65 juta suara (52 persen).
Sementara KPU menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf berhasil meraih sekitar 85,6 juta suara (55,5 persen) suara, sementara Prabowo-Sandi hanya meraup sekitar 68,65 juta suara (44,5 persen).
Namun, MK menolak penghitungan suara versi paslon 02 itu.
"Dalil pemohon a quo tak beralasan menurut hukum," kata Hakim MK Arief Hidayat saat membaca pertimbangan putusan.
MK menilai Prabowo-Sandi tak bisa menunjukkan bukti yang cukup bagaimana perolehan suara versi mereka itu bisa didapat.
(Tribunnews.com/Fitriana Andriyani/Kompas.com)