Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua tim hukum KPU RI, Ali Nurdin merasa gembira karena Hakim Mahkamah Konstitusi bisa menguliti satu per satu permohonan darimkubu Prabowo-Sandiaga.
Menurutnya pertimbangan hakim MK yang dibacakan saat ini sudah mereka prediksi sebelumnya.
Hal itulah mengapa KPU sebagai Termohon tidak mengajukan saksi di dalam persidangan.
"Oh iya (sesuai prediksi), makanya kenapa kami tidak mengajukan saksi kemarin kan terbukti apa yang dilakukannya tidak jelas," kata Ali Nurdin di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2019).
Baca: 4 Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi saat Liburan ke Sumba
Baca: Tim Penjaringan dan Penyaringan KONI Pusat Dipertanyakan Tim Sukses Muddai Madang Kredibilitasnya
Baca: KPK: Sofyan Basir Kasih Uang ke Bowo Sidik untuk Pengisian Jabatan di BUMN
Majelis Hakim Konstitusi sejauh ini mempertimbangkan bahwa beberapa permohonan Pemohon Prabowo-Sandi tidak berkaitan dengan perolehan hasil suara kedua paslon Pilpres.
Bukti-bukti yang dilampirkan Pemohon juga tidak bisa menguatkan dalil-dalil permohonan paslon 02.
"Kita melihat beberapa kasus yang muncul masalah pembukaan kotak suara, masalah surat suara tercoblos, itu semua tidak berkaitan dengan perolehan suara pasangan calon. Sehingga tidak signifikan mempengaruhi suara," ungkapnya.
Menurut Ali, pertimbangan Majelis Hakim terkait dalil permohonan Pemohon sama seperti jawaban yang mereka sampaikan pada bagian pendahuluan.
Yakni, sebagian besar permohonan Pemohon tidak punya korelasi dengan perolehan suara kedua paslon.
"Kalau tidak signifikan mempengaruhi suara, otomatis mahkamah akan menolaknya dan itu sama dengan dalil yang kita ajukan sejak awal," tutur dia.
9 Hakim MK
Berikut profil 9 hakim yang akan menangani perkara sengketa Pilpres 2019, dilansir Kompas.com :
1. Anwar Usman
Anwar adalah Ketua Mahkamah Konstitusi saat ini.
Pria yang lahir pada 31 Desember 1956 ini mendapat gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, pada 1984.
Anwar kemudian memeroleh gelar S-2 Program Studi Magister Hukum STIH IBLAM Jakarta, pada 2001.
Setelah itu, pada 2010, Anwar menempuh gelar S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pria yang mencintai seni peran dan teater ini pernah memegang sejumlah jabatan di Mahkamah Agung, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997 – 2003.
Kemudian berlanjut dengan menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003 – 2006.
Kemudian, pada 2005, Anwar diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
2. Aswanto
Hakim Aswanto merupakan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi saat ini.
Guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 1986.
Pria kelahiran 17 Juli 1964 ini kemudian mendapat gelar S-2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1992.
Kemudian, mendapat gelar S-3 di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1999.
Aswanto juga mendapat gelar Diploma di Forensic Medicine and Human Rights, Institute of Groningen State University, Belanda, pada 2002.
Aswanto memiliki karier pekerjaan yang cukup panjang.
Aswanto tercatat pernah menjadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan, pada Pemilu 2004.
Kemudian, ia menjadi Koordinator Litbang Perludem Pusat pada 2005.
Aswanto juga menjadi anggota Forum Peningkatan Pembinaan Demokratisasi Penegakan Hukum dan HAM, pada 2006.
Aswanto juga pernah menjadi Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Selatan, pada 2007 dan Ketua Dewan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Barat, pada 2008-2009.
3. Arief Hidayat
Arief Hidayat mulai menjabat sebagai Hakim Konstitusi pada 1 April 2013.
Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua MK ini merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Arief mendapat gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Undip, pada 1980.
Kemudian, mendapat gelar S-2 di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga pada1984.
Selanjutnya, Arief mendapat gelar Doktor Ilmu Hukum Undip pada 2006.
Sebagian besar perjalanan karier Arief berada di bidang pendidikan.
Arief pernah menjadi anggota Tim Assesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan anggota Tim Penilai Angka Kredit Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
4. Wahiduddin Adams
Wahiduddin mendapat gelar Sarjana Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1979.
Kemudian, dia mendapat pendidikan di De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda, pada 1987.
Ia kemudian mendapat gelar S-2 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1991.
Kemudian, mendapat gelar Doktor Hukum Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 2002.
Wahiduddin juga mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta, pada 2005.
Wahiduddin pernah menjabat Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun.
Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Kemudian, menjadi Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Wahiduddin juga pernah menjabat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, pada 2010-2014.
5. I Dewa Gede Palguna
Palguna mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bidang Kajian Utama Hukum Tata Negara, pada 1987.
Dia kemudian mendapat gelar S-2 Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bidang Kajian Utama Hukum International, pada 1994.
Palguna mendapat gelar S-3 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Bidang Kajian Hukum Tata Negara pada 2011.
Palguna kembali menjadi hakim konstitusi pada 2014.
Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara dan Panitia Seleksi menghubungi Palguna untuk menjadi hakim konstitusi dari unsur Presiden.
Palguna pernah menjadi anggota MPR RI periode 1999- 2004, sebagai utusan daerah.
Palguna menjadi salah satu pelaku sejarah ketika MPR RI mengamandemen UUD 1945.
Sebelum masa jabatannya usai, pada tahun 2003, Palguna dicalonkan DPR RI menjadi hakim konstitusi dan terpilih menjadi hakim konstitusi periode pertama sekaligus yang termuda.
6. Suhartoyo
Pada 17 Januari 2015, Suhartoyo mengucap sumpah di hadapan Presiden sebagai Hakim Konstitusi.
Suhartoyo yang merupakan hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar itu terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya.
Pria kelahiran Sleman 15 November 1959 ini mendapat gelar sarjana di Universitas Islam Indonesia, pada 1983.
Ia kemudian melanjutkan program S-2 di Universitas Taruma Negara pada 2003.
Suhartoyo kemudian mendapat gelar doktor di Universitas Jayabaya, pada 2014.
Suhartoyo terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi pada 1999.
Kemudian menjadi Ketua PN Praya pada 2004.
Selanjutnya, ia menjadi Wakil Ketua PN Pontianak pada 2009, Ketua PN Pontianak pada 2010, Wakil Ketua PN Jakarta Timur pada 2011, serta Ketua PN Jakarta Selatan pada 2011.
7. Manahan M P Sitompul
Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015.
Sebelumnya, Manahan merupakan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin.
Manahan mendapat gelar sarjana Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara (USU), pada 1982.
Ia kemudian melanjutkan program S2 Program Magister jurusan Hukum Bisnis USU, pada 2001.
Kemudian, Manahan menyelesaikan program doktor jurusan Hukum Bisnis USU, pada 2009.
Karier hakimnya dimulai sejak dilantik di PN Kabanjahe pada 1986.
Pada 2002, dia dipercaya menjadi Ketua PN Simalungun.
Pada 2003, ia dimutasi menjadi hakim di PN Pontianak dan pada 2005 diangkat sebagai Wakil Ketua PN Sragen.
Pada 2007, ia dipercaya sebagai Ketua PN Cilacap.
Setelah itu, Manahan diangkat menjadi Hakim Tinggi Manado, pada 2010.
8. Saldi Isra
Pada 11 April 2017, Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra dilantik menggantikan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi.
Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya.
Saldi menuntaskan pendidikan pascasarjana dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia pada 2001.
Kemudian pada 2009, ia berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude.
Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional.
Saldi juga dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan.
Ia juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
9. Enny Nurbaningsih
Enny Nurbaningsih terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai Hakim Konstitusi perempuan di Indonesia.
Enny mendapat gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada 1981.
Perempuan kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini melanjutkan studi Hukum Tata Negara pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, pada 1995.
Dia menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, pada 2005.
Enny tercatat pernah menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Enny ikut membentuk Parliament Watch bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008 – 2013 Mahfud MD pada 1998.
Enny juga memiliki rekam jejak karier yang beragam di bidang hukum.
Beberapa di antaranya seperti, Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact hingga menjadi penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.
Tahapan Sidang
Tahapan sidang penyelesaian sengketa Pemilihan Presiden 2019 akan mengundang pemohon, termohon, pihak terkait, dan juga Badan Pengawas Pemilu.
Dalam sengketa ini, tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga menjadi pemohon.
Sedangkan termohon dalam kasus ini adalah Komisi Pemilihan Umum ( KPU).
Sementara itu, tim hukum pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf akan menjadi pihak terkait.
"Jadi pemohon akan diundang dipanggil ke MK termasuk juga termohon. Agendanya mendengarkan permohonan pemohon," ujar juru bicara MK, Fajar Laksono, Kamis (13/6/2019), Dikutip Tribunenws dari Kompas.com.
Dilansir Kompas.com, rangkaian sidang sengketa pilpres ini akan berlangsung terus hingga akhir Juni.
Setelah sidang pendahuluan, MK akan menggelar sidang pemeriksaan atau pembuktian.
Jika pemeriksaan telah selesai, hakim akan melakukan rapat permusyawaratan untuk menentukan putusannya.
Berikut ini adalah tahapan sidang sengketa pilpres yang akan berlangsung hingga 28 Juni 2019, dikutip Tribunnews dari Kompas.com :
1. 14 Juni : Sidang pemeriksaan pendahuluan dan penyerahan perbaikan jawaban dan keterangan.
2. 17-24 Juni : Pemeriksaan persidangan.
3. 25-27 Juni : Rapat Permusyawaratan Hakim.
4. 28 Juni : Sidang pengucapan putusan.
5. 28 Juni-2 Juli : Penyerahan salinan putusan dan pemuatan laman.