Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Krisis properti di China diramal akan terus berlanjut pada tahun 2025, karena harga dan penjualan tetap lemah meskipun pemerintah melakukan stimulus untuk memacu permintaan.
Proyeksi itu diungkap oleh Lembaga pemeringkat Fitch Ratings setelah harga rumah baru di China terus mengalami penurunan sementara daftar properti terus menumpuk, imbas penurunan ini Fitch memprediksi apabila harga rumah di China akan anjlok 5 persen lagi tahun depan.
"Titik balik untuk sektor real estate belum tiba. Apakah pemanasan baru-baru ini dapat berlanjut masih menghadapi ketidakpastian yang besar," ujar Direktur Pelaksana Fitch di Shanghai, Wang Ying, dikutip dari Bloomberg.
Baca juga: Emiten Properti PPRO Gandeng Communale, Bangun Pusat Kuliner di Surabaya
Ada sejumlah faktor yang membuat bisnis properti di China jatuh ke jurang kebangkrutan. Salah satunya karena turunnya permintaan apartemen dan anjloknya harga rumah dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut makin diperparah dengan adanya pengekangan aktivitas bisnis akibat penguncian Covid-19.
Membuat rasio kredit macet dari hipotek perumahan naik tipis 10 hingga 20 basis poin dalam beberapa kuartal terakhir karena ekspektasi pendapatan yang lemah dan lambatnya pengiriman rumah jadi mengurangi keinginan pembeli untuk membayar hipotek.
Memberikan tekanan lebih lanjut pada bank-bank China, yang telah berjuang melawan margin terendah, laba yang menurun, dan meningkatnya utang macet dari peminjam korporat. Hingga margin bunga bersih di bank-bank China menyusut menjadi 1,5 persen pada kuartal III/2024, terendah di Asia Pasifik.
Untuk mencegah pembengkakan kerugian, pemerintah China dalam dua bulan terakhir mengeluarkan paket kebijakan terkuatnya untuk meningkatkan pasar properti, termasuk memangkas biaya pinjaman pada hipotek yang ada, melonggarkan pembatasan pembelian di kota-kota besar, dan menurunkan pajak atas pembelian rumah.
Tak hanya itu pada November 2024 ini, China juga meluncurkan program 10 triliun yuan atau sekitar 1,38 triliun dollar AS untuk membantu menyelesaikan krisis utang pemerintah daerahnya.
Namun cara tersebut nyatanya tak cukup mampu untuk menekan krisis properti di China, membuat sejumlah raksasa real estate terbesar di negara tirai bambu itu berada diambang kebangkrutan akibat mengalami krisis likuiditas, termasuk diantaranya Vanke dan Evergrande