News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mutiara Ramadan

Ramadhan dan Trigger Spiritual

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH Cholil Nafis, Lc., Ph D, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU.

Oleh: KH. Cholil Nafis, Ph.D, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU

Ada satu ungkapan seseorang begini, "Setiap Ramadaan, saya pasti umrah bersama keluarga sekitar tiga pekan. Nikmat sekali beribadah di sana dan saya benar-benar menemukan kekhusyukan dibanding di tanah air."

Sekilas, kalimat tersebut tidak bermasalah. Sehingga, yang mendengar pun menganggap hal itu sebagai obrolan biasa. Yang terpikir dalam benak kita, “wajar” karena dilakukan di tanah suci, dekat Masjidil Haram yang penuh janji-janji pahala dari Allah.

Namun sadarkah kita, bahwa hal itu mengandung masalah yang cukup serius. Kenapa? Kalimat, "Saya benar-benar menemukan kekhusyukan di sana dibanding di tanah air," itu yang bermasalah. Seakan-akan kekhusukan ibadah hanya dapat diperoleh saat di tanah suci saja. Ini yang saya garisbawahi.

Perlu dicatat, kekhusyukan ibadah apapun, termasuk di bulan Ramadan terletak di pada diri kita. Di hati dan pikiran. Bukan di suatu tempat, bukan pula di waktu-waktu tertentu. Ingat, khusyuk tidaknya seseorang beribadah terletak dari kualitas "hati dan pikirannya." Bahwa tempat dan waktu dapat menjadi faktor pendorong kekhusyukan ibadah itu pasti. Hanya saja, statusnya sebagai faktor pendorong dari luar diri kita.

Dalam QS: Al-Hijr: 29: "Tatkala telah Aku sempurnakan kejadiannya, Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. Maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud." Pemahaman tekstual ayat tersebut menunjuk pengertian bahwa manusia diciptakan oleh Allah selain dari unsur fisik yang disebut pada ayat sebelumnya juga mengandung unsur spiritual (ruh). Dalam diri kita terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Artinya setiap kita memiliki unsur-unsur ketuhanan yang setiap saat dapat kita “bangkitkan” dan “tingkatkan” kualitasnya menuju kesempurnaan diri, dimanapun dan kapanpun.

Pemahaman kontekstualnya, setiap diri kita, siapapun, dapat meningkatkan kualitas spiritualnya sampai pada tingkat tertinggi. Di tanah air, di tanah suci, maupun di manapun, kita semua dapat menemukan kualitas kekhusyukan ibadah sebagai salah satu indikator ditemukannya puncak tertinggi dalam ibadah. Bagi orang yang mengatakan dirinya baru menemukan kekhusyukan saat-saat di tanah suci atau saat-saat tertentu, maka dia belum memahami hakikat kediriannya secara utuh.

Potongan sebuah hadis Nabi: "Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada," (HR. Ahmad), menunjuk pada perintah “tak terbatas” bahwa ketakwaan dapat diraih dimanapun kita berada. Beribadah di tanah suci maupun di tanah air seharusnya memiliki tingkat pemahaman yang sama, bahwa dalam diri kita yang terdapat unsur ketuhanan (ruhullah) dapat menjadi trigger untuk menggapai tingkat ketakwaan, salah satunya dengan menemukan kekhusyukan dalam beribadah.

Karena itu, faktor eksternal seperti ungkapan di atas tidak boleh dijadikan satu-satunya alasan seseorang menemukan kekhusyukan. Meskipun, faktor eksternal sebagai pendorong jiwa untuk mencapai khusyuk tetap perlu dan penting. Di kalangan kaum sufi misalnya banyak menggunakan musik meditatif sebagai salah satu media penggugah jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti dalam tarekat Mawlawiyah dengan musik dan tarian Sema.

Bagaimana dengan bulan Ramadan ini? Sebagai bulan yang penuh rahmat dam ampunan dengan keutamaan-keutamaan amalan tentu sangat penting bagi kita untuk menjadi trigger dalam meningkatkan kualitas spiritual kita. Ramadan bisa menjadi pendorong puncak spiritual tertinggi. Hanya saja, momen Ramadan harus kita pahami dengan benar, bahwa selama sebulan penuh harus kita jadikan “madrasah”, wahana pembelajaran jiwa untuk 11 bulan berikutnya. Jangan hanya berhenti pada anggapan bahwa Ramadhan adalah “bulan diskon” pahala, mari kita belanja sebanyak-banyaknya, tetapi Ramadan berlalu, selesai pula “belanjanya”. Ini yang sering dipahami kebanyakan orang.

Adanya Ramadan itu agar kita bisa belajar banyak dalam menemukan puncak spiritual yang menjiwai dalam kehidupan seterusnya. Keutamaan-keutamaan puasa, salat Tarawih, lailatur qadar, tilawah Alquran, menyantuni dhuafa, dan lain-lain harus kita jadikan trigger sikap, perilaku, dan ibadah di luar Ramadan. Sehingga, Ramadan itu ibarat olimpiade amal, dan para pemenangnya adalah mereka yang bisa merubah sikap dan periku lebih baik untuk sebelas bulan berikutnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini