TRIBUNNEWS.COM - Seringkali kita merasa bahwa bau mulut kita agak lebih tidak bersahabat ketika berpuasa.
Tentunya rasa kurang percaya diri ketika bergaul dengan masyarakat ketika sedang berpuasa.
Pada masa Rasulullah SAW hidup, hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi Rasul sehingga Rasulullah pun bersabda kepada para sahabatnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Sahih-nya:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ
Artinya, “Demi Zat yang berkuasa atas nyawaku, sungguhbau mulut orang puasa itu lebih wangi menurut Allah daripada bau misik.”
Dari hadits ini, ada beberapa orang yang salah kaprah memaknainya.
Karena disebutkan bahwa bau mulut orang berpuasa lebih wangi daripada bau minyak misik, maka orang mengira bahwa yang menjadi patokan adalah bau mulutnya sehingga orang tersebut merasa tak perlu membersihkan mulutnya ketika berpuasa. Mereka menganggap semakin berbau mulut, maka akan semakin wangi seperti misik menurut Allah SWT.
Ada beberapa hal yang perlu kita diperhatikan ketika membaca hadits ini.
Membaca hadits ini tidak bisa secara tekstual. Memaknai hadits ini harus berdasarkan makna majaz (bukan arti yang sebenarnya).
Sebagaimana dikemukakan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam karyanya yang berjudul At-Thuruqus Shahihah fi Fahmi Sunnatin Nabawiyyah bahwa ada beberapa hadits yang harus dipahami secara majaz. Salah satunya adalah hadits ini.
Berikut beberapa hal yang diharus diperhatikan ketika membaca hadits ini.
Pertama, bahwa yang dimaksud wangi menurut Allah bukan berarti wangi berdasarkan penciuman Allah.
Karena mencium merupakan suatu hal yang mustahil bagi Allah SWT.