TRIBUNNEWS.COM - Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Saya pulang kerja jam lima sore, karena perjalanan dari Jalan Sudirman menuju Depok macet sekali, kira-kira baru dapat sampai rumah jam tujuh malam, sering kelewat Magrib. Bolehkah saya mengqashar salat?
Jawaban;
Wa'alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuhu. Saudari yang dirahmati Allah, semoga kepedulian dan perhatian saudari terhadap ibadah salat dalam kondisi lalu lintas ibu kota dan sekitarnya yang cukup rumit ini menjadi keberkahan tersendiri dalam kehidupan dan segala aktivitas yag dijalani.
Banyak umat muslim di kawasan seperti ibu kota yang sangat macet ini menjadikan kondisi ini sebagai alasan tidak melaksanakan kewajiban salat sama sekali. Padahal agama telah menawarkan solusi agar kondisi rumit seperti ini tidak menghalangi seseorang menunaikan kewajiban salat yang mutlak harus dikerjakan dalam kondisi apapun tanpa memandang siapa dan bagaimana orang tersebut selama dia masih muslim, balig, dan berakal.
Dari contoh-contoh kasus kerumitan yang dialami seseorang dalam menjalankan ibadah muncullah sebuah kaidah yang berbunyi;
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Sesuatu yang tidak dapat terlaksana secara utuh, bukan berarti harus meninggalkannya secara total."
Contoh kondisi yang menunjukkan bahwa salat tidak boleh ditinggalkan secara total adalah ketika seseorang tidak mampu berdiri maka dia diperkenankan salat duduk. Apabila tidak dapat duduk maka diperkenankan berbaring. Dan apabila tidak dapat berbaring maka dengan isyarat. Atau salat dengan jumlah rakaat normal menjadi dikurangi (qashar), dan salat yang dilaksanakan pada waktu normal dapat dilaksanakan dengan memajukan waktunya (jamak taqdim) atau mengundur ke waktu shalat berikutnya (jamak ta’khir).
Yang berubah pada contoh ini hanyalah tata cara salatnya, bukan ada atau tidaknya salat itu.
Pertanyaan yang saudari ajukan adalah tentang kebolehan menqashar (meringkas rakaat) salat disebabkan kemacetan yang cukup rutin pada jam arus balik kerja dari Jakarta ke Depok yang jaraknya lebih kurang hanya 30 kilometer, jarak yang kurang dari syarat boleh mengqashar yaitu 84 kilometer.
Oleh karena itu metode salat yang tepat sesuai dengan kondisi saudari adalah menjamak antara dua shalat tanpa qashar, karena belum mencukupi syarat boleh mengqashar.
Berikut adalah syarat yang perlu diketahui jika akan menjamak salat saat di tol atau kondisi macet sebagaimana yang pernah dituliskan Buya Yahya, Pimpinan Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, dalam bukunya yang berjudul Solusi Shalat di Jalan Macet, dengan sedikit penambahan;
1. Perjalanan jauh yang mencapai carak 84 kilometer baik dalam kondisi lancar mau pun tidak. Kondisi ini sudah dimaklumi bersama.
2. Perjalanan pendek yang kurang dari 84 kilometer. Menjamak salat dalam kondisi ini ada dua syarat;
a. Berniat bepergian atau memang sudah dalam perjalanan. Contohnya apabila saudari tinggal di Depok yang bekerja di Jakarta dengan jadwal pulang bekerja pukul 5 sore. Lalu ketika masih berada di kantor untuk berkemas, saat itu saudari sudah berniat melakukan perjalanan pulang, maka inilah yang disebut dengan “berniat bepergian”. Kemudian yang kedua lebih mudah lagi yaitu saudari memang sudah dalam perjalanan pulang.
b. Ada dugaan jalanan macet atau tiba-tiba terkena macet yang tentunya akan merepotkan saudari jika harus turun mencari tempat salat. Namun tidak mesti harus sangat kerepotan untuk turun melakukan salat, dan tidak harus macet total, akan tetapi cukup dengan tanda-tanda macet akan terjadi.
Bahkan dengan bantuan aplikasi google map seseorang dapat memprediksi kapan dia akan sampai ditujuan dan dapat melihat jalur merah sebagai tanda macet dalam aplikasi tersebut, meskipun tidak wajib menggunakan perangkat ini.
Dengan demikian, untuk kasus saudari dapat diterangkan sebagai berikut;
Apabila saudari keluar dari kantor pukul 5 sore, kemudian dalam perjalanan yang akan ditempuh ada dugaan macet dan akan tiba di rumah setelah waktu Magrib habis selama di perjalanan. Maka ketika waktu Magrib tiba saat saudari dalam perjalanan, saudari harus berniat menjamak salat Magrib tersebut di waktu isya (jamak ta’khir).
Pertanyaan serupa juga pernah diajukan seorang wanita kepada Mufti Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz (w.1999M) yang tercatum dalam al-Fatawa al-Islamiyyah;
أَذْهَبُ وَبَعْضُ أَهْلِيْ إِلَى بَلَدٍ مُجَاوِرٍ يَبْعُدُ حَوَالَي الْخَمْسِيْنَ كِيْلُوْ مِتْرًا عَنْ بَلَدِنَا لِشِرَاءِ بَعْضِ الْحَاجَاتِ، وَنَرْجِعُ مَعَ الْمَغْرِبِ، وَقَدْ لَا نَخْرُجُ إِلَّا مُتَأَخِّرِيْنَ بِسَبَبِ الزِّحَامِ وَضَيْقِ وَقْتِ الْمَغْرِبِ، وَقَدْ لَا نَصِلُ إِلَّا مَعَ آذَانِ الْعِشَاءِ الْأَخِيْرِ أَيْ بَعْدَ فَوَاتِ وَقْتِ الْمَغْرِبِ، هَلْ يَجُوْزُ لَنَا فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ نَظْرًا لِلْبُعْدِ وَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ تُلْحَقُ بِالنِّسَاءِ تَأْخِيْرُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ حَتَّى نَصِلَ بَلَدَنَا؟
“Saya dan beberapa anggota keluarga pergi belanja keperluan ke wilayah yang bersebelahan dengan wilayah kami yang jaraknya sekitar 50 kilometer. Waktu Magrib tiba saat kami dalam perjalanan balik, sehingga terkadang kami terlambat disebabkan macet dan sempitnya waktu Magrib. Bahkan terkadang kami sampai di rumah setelah waktu Isya masuk, artinya waktu Magrib sudah habis.
Mengingat kondisi seperti ini serta kesulitan yang terkait dengan perempuan, bolehkan kami mengundur salat Magrib hingga kami sampai di wilayah (rumah) kami?”
Beliau menjawab;
لَا حَرَجَ فِيْ تَأْخِيْرِ الْمَغْرِبِ وَالْحَالُ مَا ذُكِرَ إِلَى أَنْ تَصِلُوْا إِلَى الْبَلَدِ دَفْعًا لِلْمَشَقَّةِ، وَإِنْ تَيَسَّرَ فِعْلُهاَ فِيْ الطَّرِيْقِ فَهُوَ أَوْلَى
“Jika memang kondisinya demikian, saudari boleh mengundur salat Magrib (menjamak dengan shalat isya) hingga tiba di wilayah saudari lantaran faktor kesulitan ini. Namun jika ada kesempatan untuk melaksanakan salat Magrib di perjalanan tentunya lebih baik.”
Semua keterangan ulama lintas mazhab terkait menjamak salat dalam kondisi sulit ini berangkat dari karakteristik agama Islam yang cenderung memberikan kemudahan bagi pemeluknya seperti tergambar dari ayat dan hadis-hadis berikut; Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman;
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan kemudahan bagimu, bukan kesulitan” (Surat al-Baqarah ayat 185).
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menginginkan kesulitan bagimu” (Surat al-Maidah ayat 6).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَآدَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
"Sesungguhnya agama itu mudah, maka orang yang memberatkan dirinya dalam agama (ibadah) pasti agama akan mengalahkannya (mendorongnya untuk mengambil kemudahan)” (HR: Imam Bukhari).
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
“Berilah kemudahan, jangan dipersulit. Berilah kabar gembira, jangan ditakut-takuti” (HR: Imam Bukhari).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ.
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat zuhur dengan ashar, magrib dengan isya tanpa ada sebab kondisi mencekam, juga bukan karena hujan” (HR: Imam Muslim).
Dalam riwayat lain dengan redaksi;
فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ
“Bukan dalam kondisi mencekam, juga bukan dalam perjalanan” (HR: Imam Muslim).
Sehingga Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya mengapa Rasulullah melakukan demikian, beliau menjawab;
أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
“Beliau ingin agar tidak menyulitkan umatnya” (HR: Imam Muslim).
Dari jawaban Ibnu Abbas ini dapat dipahami apabila seseorang mengalami kesulitan, agama datang memberikan solusi kepadanya, bahkan dalam persoalan tata cara melaksanakan ibadah salat sekali pun. Wallahu A‘lam
Rubrik konsultasi ini diasuh oleh Ustaz Zul Ashfi, S.S.I, Lc