Asimilasi kuliner Mongol dan Persia Islam serta Turki Islam utamanya terjadi di daerah Iran.
Hingga kini, jejak asimilasi tersebut tercetak di Asia Tengah, beberapa daerah di utara Tiongkok, serta masih sedikit terasa di Rusia.
Tahap ketiga dimulai sejak sekitar abad ke-15, yang ditandai dengan asimilasi kultur Turki dengan Islam atau kultur Turko-Islamic.
Kuliner Turko-Islamic terus diperbarui dan disempurnakan seiring dengan kejayaan dinasti Utsmaniyah, Safawi, dan Mughal, dan mampu menyentuh wilayah selatan Sahara hingga Indonesia.
Pada masa tersebut, lahir dua inovasi penting dalam dunia kuliner: pertama, nasi atau masakan dari jenis beras lainnya yang dimasak dengan metode pilaf (ditumis dalam rempah-rempah dan minyak dan ditanak dengan kaldu). Kedua, minuman hangat yang kini kita kenal sebagai kopi.
Dikutip dari Gana Islamika Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (1): Perso-Islamic
https://ganaislamika.com/islam-dan-transformasi-kuliner-dunia-1-perso-islamic/
Kuliner Perso-Islamic (700-1250 M)
Masyarakat Islam dua generasi setelah Rasulullah SAW wafat di tahun 632 M, telah berhasil menguasai Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol.
Percampuran wilayah-wilayah yang berbeda ini menghasilkan banyak variasi dalam bidang kuliner.
Tadinya, kuliner jazirah Arab lebih banyak bergantung kepada jelai (barley), susu, mentega, dan keju yang dipadukan dengan kurma, serta daging kambing.
Namun setelah jalur perdagangan dari India dan lintas Sahara terbuka, bahan-bahan makanan baru pun mulai dikenal, seperti sorgum, beras Asia, tebu, jeruk, semangka, bayam, artichoke, dan terung.
Kuliner Perso-Islamic banyak dipengaruhi oleh masakan khas Kekaisaran Persia Sasaniyah. Sebagai penganut Zoroastrianisme, orang-orang Sasaniyah sangat mengagungkan peran api dalam kegiatan memasak, menganggap hasil kebun sebagai simbol kemakmuran bumi, serta mengutamakan daging ayam dan telur sebagai bahan masakan.
Ketika invasi Islam datang, filosofi kuliner Islami pun ikut memengaruhi masakan-masakan Sasaniyah, belum lagi adanya penambahan elemen-elemen dari Kerajaan Romawi, India, Tiongkok, dan kuliner lokal asal Suriah dan Irak.
Berbagai macam daging merah, kecuali babi dan darah, mulai menjadi semakin populer berkat perayaan Idul Adha.
Berbagai hidangan daging tidak hanya sering disajikan di istana, namun juga menjadi inspirasi bagi para cendekiawan dan pujangga.