Menurut Abdul, puasa seseorang yang ghibah atau membicarakan orang lain adalah sah, tetapi tidak maknawi.
Baca: Ajarkan Anak Puasa, Ini Tips Saat si Kecil Susah Dibangunkan untuk Sahur
Baca: Kuat Puasa Seharian, Ini Pilihan Makanan Praktis dan Seimbang Saat Sahur
"Dia memang menjalankan ibadah puasa sejak terbit fajar hingga matahari tenggelam dan gugur dari kewajiban berpuasa. Namun, dia tidak akan mendapatkan sedikitpun pahala dari puasa tersebut", jelas Abdul.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلُ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ عَزَّوَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/99]
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa puasa seseorang yang ghibah tetap sah dan ia gugur dari tanggung jawab puasa.
Namun, ia tidak mendapatkan pahala apa pun dari apa yang dia lakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
"Oleh karena itu, semoga saja kita tidak hanya dapat menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan syahwat lisan, syahwat tangan untuk mengetik tulisan yang dapat menyakiti, mencelakai, atau menyinggung orang lain, meskipun itu nyata terjadi, karena itu merupakan bagian dari ghibah," tutup Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga IAIN Surakarta tersebut.
(Tribunnews.com/Citra Anastasia)