Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
DALAM idiom keagamaan terdapat kata khaliq dan makhluk. Khaliq adalah pencipta, sedang makhluk adalah yang diciptakan.
Dalam pengertiannya yang mutlak, istilah khaliq hanya mengacu pada Tuhan, sementara makhluk mengacu kepada semua realitas selain diri-Nya.
Di antara sekian banyak ciptaan itu, adalah manusia yang paling tinggi dan prima kedudukannya.
Dalam Alquran bahkan disebutkan secara tegas bahwa manusia merupakan makhluk yang mendapatkan percikan Ruh-Nya.
Dalam riwayat Hadist juga disebutkan manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan.
"Innallaha Khalqa adam ala Shuratihi (Sungguh, Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya)."
Fakta empiris juga menunjukkan manusia adalah makhluk paling unik yang tak pernah selesai difahami dan didefinisikan.
Definisi manusia yang dihasilkan ilmu politik, akan jauh berbeda dengan definisi ilmu ekonomi.
Definisi Manusia dari ilmu sosial jauh berbeda dengan definisi ilmu agama, sehingga sampai sekarang pun manusia masih belum bisa memotret dirinya secara utuh dan menyeluruh.
Man the unknown, manusia makhluk yang tetap mengandung misteri yang tak terpahami.
Pertanyaannya, mengapa manusia bisa demikian istimewa sehingga sulit diberi definisi yang memuaskan semua pihak?
Karena manusia memiliki unsur-unsur Ilahi dalam dirinya.
Manusia bagaikan bayang-bayang Tuhan yang menyejarah; yang hidup dalam ruang dan waktu.
Manusia adalah mikrokosmos yang memiliki daya tampung yang luar biasa besar; melebihi makrokosmos yang ia tempati.
Karena itu dalam adagium tasawuf disebutkan manusia ibarat seekor belalang kecil yang menempel pada dahan sebuah pohon, tapi pengetahuannya jauh melampaui luasnya hutan itu sendiri.
Sebagai makhluk yang diciptakan sesuai citra Tuhan dan mendapatkan percikan Ruh-Nya, logis manusia memiliki unsur-unsur Ilahi dan kemiripan sifat dengan penciptanya.
Hanya saja Allah Maha Absolut, sedangkan sifat-sifat ilahi yang ada pada manusia merupakan anugerah-Nya yang bersifat relatif.
Manusia memiliki kemampuan mengetahui, tetapi Allah maha mengetahui.
Manusia mampu mencipta, tetapi Allah maha pencipta.
Manusia mendengar, Allah maha mendengar, dan seterusnya.
Unsur-unsur Ilahi ini sejatinya adalah instrumen yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia supaya bisa menginsafi hakikat dirinya, untuk selanjutnya mengenal, mendekati, dan menjalin hubungan dengan Tuhan.
Unsur-unsur itu adalah instrumen yang ditanamkan dalam diri manusia sehingga dia mampu menerima pancaran cahaya Ilahi.
Ketika manusia sudah mengenal, mendekat dan mencintai Tuhan, selanjutnya akan terjadi limpahan energi ilahi yang menggerakkan dan mengarahkan prilaku manusia.
Karena natur manusia itu fitri, hanif, dan memiliki banyak kesamaan dengan pencipta-Nya, seorang muslim mestinya semakin memiliki sifat kasih sayang mengingat seroang muslim paling banyak menyebut dua sifat itu.
Perlu Kerja Keras
Singkatnya, relasi antara Tuhan dan manusia ini bisa diilustrasikan dengan besi yang ditempelkan dan digosok-gosokkan pada magnet.
Pada mulanya, besi itu hanyalah penerima yang secara pasif hanya bisa pasrah ditarik oleh magnet.
Tapi semakin lama digosok, partikel penyusun besi secara otomatis akan teratur seperti partikel magnet, sehingga besi yang tadinya hanya bersifat pasif, sekarang berubah menjadi aktif dan mampu menjadi magnet baru walaupun kualitasnya tidak setara dengan magnet yang asli.
Inilah yang disebut sebagai Takhalluq bi akhlaqillah.
Melakukan internalisasi sifat-sifat Ilahi ke dalam diri kita.
Proses mengenal dan internalisasi ini berbeda dengan proses mengenali dan memasukkan sari pati makanan untuk tubuh.
Untuk mengenal makanan, kita cukup mengetahui, memiliki, kemudian memakannya sehingga makanan itu masuk ke tubuh kita.
Tetapi untuk meniru sifat-sifat Allah perlu kerja keras, dan sifat itu sulit masuk kalau diri kita kotor.
Kotoran itulah yang menjadi tutup, cover, dan orang yang tertutup hati dan pikirannya disebut kafir, sehingga cahaya kebenaran Ilahi sulit bekerja dalam dirinya.
Jika dicermati, sifat dan nama Allah dalam Alquran secara garis besar terbadi dua, ada yang bernuansa feminim dan ada yang bercorak maskulin.
Semua nama atau sifat itu terangkum dalam asmaul husna yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
Hakikat dan Dzat Allah sesungguhnya tidak perlu nama dan nama apapun tidak akan cocok dilekatkan pada-Nya.
Tetapi nama dan sifat Allah diperlukan bagi manusia sebab tanpa nama dan sifat kita sulit memahami dan mendekati-Nya.
Bayangkan, seandainya dalam kehidupan ini tidak ada nama, maka sulit membangun relasi pengetahuan.
Kita sulit membedakan antara entitas satu dengan entitas yang lain.
Lebih dari itu, tidak akan tercipta sebuah tatanan dan tidak ada ilmu pengetahuan.
Di sinilah letak nilai-nilai edukasi dan relasi di balik nama Tuhan.
Dari nama-nama Tuhan itu pula kita dapat mengenal dan meneladani sifat Tuhan untuk selanjutnya dapat kita tiru dan praktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui nama-nama Tuhan kita merasakan kehadiran Tuhan yang selalu dekat dan bersama dengan kita, sehingga aktivitas kita selalu merasa terawasi, terjaga dan terdeteksi oleh-Nya.