TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah No 31 tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Terbitnya PP ini merupakan mandat dari Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, terbitnya PP yang sudah lama dinantikan ini positif bagi penguatan dunia usaha. Menurut Menag, terbitnya PP 31 tahun 2019 akan memberikan kepastian informasi dan transparasi bagi para konsumen produk halal, sekaligus mendorong pertumbuhan pasar industri halal di Indonesia.
“Banyak pengusaha domestik dan asing yang khawatir dengan regulasi ini, tetapi setelah kami jelaskan isi PP dan implementasinya, mereka justru melihat PP ini akan berdampak positif bagi dunia usaha,” kata Menag di Jakarta, Selasa (21/05/2019).
“Jika diimplementasikan dengan baik, PP ini akan mendorong peran Indonesia sebagai pusat produk halal dunia,” tambahnya.
Menag berharap kehadiran PP ini akan memperkuat aspek rantai nilai halal (halal value chain) sejumlah industri yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat muslim sebagaimana tertuang dalam masterplan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia yang disusun Pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla. Industri tersebut mencakup: makanan dan minuman halal, pariwisata halal, fesyen muslim, media dan rekreasi halal, farmasi dan kosmetik halal, serta energi terbarukan.
Dikatakan Menag, sejalan dengan pertumbuhan populasi Muslim, permintaan untuk komoditas halal terus meningkat. Data Global Islamic Economy Report 2018/2019 menyebutkan bahwa makanan dan minuman memegang saham terbesar di global halal industry. Nilainya USD 1,303 miliar.
“Makanan dan minuman halal diproyeksikan akan tumbuh mencapai USD 1,863 miliar pada tahun 2023. Ini tentu menjadi peluang bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia,” paparnya.
Substansi PP
PP ini terdiri dari 10 Bab dengan 84 pasal. Selain Ketentuan Umum, Peralihan, dan Penutup, bab dalam PP ini mengatur tentang kerjasama BPJPH dalam penyelenggaraan JPH. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan Kementerian dan Lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal, MUI, dan kerjasama internasional.
“Kerjasama BPJPH dengan MUI meliputi sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi lembaga pemeriksa halal,” terang Menag.
“Kerjasama internasional dapat berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan atau pengakuan sertifikasi halal,” sambungnya.
Bab lainnya mengatur Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPH dapat didirikan oleh pemerintah dan atau masyarakat. LPH yang didirikan masyarakat harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum, baik perkumpulan atau yayasan. “Akreditasi LPH dilakukan oleh BPJPH,” tegas Menag.
PP JPH juga mengatur hal teknis tentang Lokasi, Tempat, dan Alat Proses Produk Halal (PPH). Misalnya diatur bahwa lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal.
Tata cara registrasi sertifikasi halal luar negeri juga diatur dalam bab tersendiri pada PP ini. Jika sudah ada kerjasama saling pengakuan sertifikasi halal dengan BPJPH, maka produk halal yang sertifikatnya diterbitkan lembaga tersebut tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halal. Namun, sertifikat tersebut wajib diregistrasi BPJPH sebelum produknya diedarkan di Indonesia.
Bab lain yang cukup krusial dalam PP ini, kata Menag, adalah terkait penahapan jenis produk yang bersertifikat halal. Menurutnya, produk yang wajib bersertifikat halal terdiri atas barang dan/atau jasa. Barang itu mencakup: makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan.
Adapun yang masuk dalam kategori jasa adalah penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian. Konteks jasa dalam hal ini adalah terkait makanan, minuman, obat, atau kosmetik.
“Kewajiban bersertifikat halal bagi jenis produk ini dilakukan secara bertahap, dimulai dari produk makanan dan minuman, dilanjutkan dengan produk selain keduanya,” jelas Menag.
“Produk yang belum bersertifikat halal pada 17 Oktober 2019, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait,” lanjutnya.
Pengawasan juga menjadi bab tersendiri dalam PP JPH. Pengawasan JPH menjadi bagian tugas dari BPJPH, baik dilakukan secara sendiri, atau bersama-sama dengan kementerian/lembaga terkait, dan/atau pemda sesuai tugas dan fungsinya. Pengawasan JPH antara lain mencakup: LPH, masa berlaku sertifikat halal, kehalalan produk, pencantuman label halal, pencantuman keterangan tidak halal, dan keberadaan penyelia halal.
“Barang yang wajib sertifikasi tetapi tidak lolos sertifikasi, tetap boleh beredar di Indonesia dengan mencantumkan logo/simbol tertentu,” paparnya.
Pasca terbitnya PP JPH ini, kata Menag, Kementerian Agama akan segera mengeluarkan dua PMA mengenai pentahapan sertifikasi halal dan penyelenggaraan jaminan halal, serta satu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang biaya sertifikasi halal. BPJPH juga akan segera memfinalisasi kesepakatan kerjasama dengan BPOM terkait sertifikasi halal untuk produk yang memerlukan ijin edar dari BPOM.
"Diharapkan nantinya proses sertifikasi dan proses pengajuan/perpanjangan ijin edar dapat disatukan, sehingga akan lebih mudah dan efisien," tuturnya .
BPJPH juga telah menetapkan Label Halal yang berlaku nasional. Menurut Menag, BPJPH telah memperoleh hak cipta atas Label Halal dari Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham tersebut dengan nomor Merk Indonesia IDM000635899 tanggal 24 Oktober 2018.
"Alhamdulillah sejumlah tahapan persiapan sudah dilakukan. Terbitnya PP akan mendorong BPJPH untuk segera mengimplementasikan tugas penjaminan produk halal di Indonesia. Insya Allah, ini akan segera kami lakukan bertahap," tandasnya.