Pada masa Bani Umayyah, fungsi Baitul Maal memang diperluas. Tidak saja sebagai lembaga penyalur tunjangan sosial, namun juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana dan prasarana umum.
Bahkan, dana yang dikelola oleh Baitul Maal pada masa Umar Ibn Abdul Aziz juga digunakan untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai.
Bahkan, Umar Ibn Abdul Aziz juga menawarkan tanah milik pemerintah untuk dikelola oleh masyarakat dengan dikenakan kharj atas garapan tersebut. Namun, besaran kharj yang ditetapkan sangatlah fleksibel dan didasarkan atas kemampuan masyarakat yang mengelolanya.
Jika masyarakat yang mengelola tidak sanggup membayar kharj sebesar 50 persen, maka akan diturunkan menjadi 30 persen.
Jika tidak mampu dengan 30 persen, maka akan dikurangi lagi menjadi 10 persen, dan bahkan sampai nol persen. Terakhir, jika yang mau mengelola itu menolak karena keterbatasan ekonomi, maka Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan Baitul Maal untuk membiayai tanah tersebut agar para petani dapat mengelolanya.
Adapun penarikan terhadap kharj di masanya tidak dilakukan dengan pukul rata. Ia memerintahkan kepada petugasnya untuk melihat dulu kondisi tanahnya, ketersediaan irigasinya, kesuburan tanahnya, dan juga hasil panennya untuk menentukan besaran kharj.
Kebijakan lainnya yang sangat penting pada masa Umar Ibn Abdul Aziz terkait dengan Baitul Maal adalah kebijakan tentang pemisahan antara rekening zakat dan shadaqah yang keduanya memiliki bagiannya sendiri-sendiri.
Selain pemisahan antara rekening zakat dan shadaqah, Umar Ibn Abdul Aziz juga membuat kebijakan tentang otonomisasi pengelolaan zakat di masing-masing daerahnya. Dengan kebijakan ini maka pemerintah daerah tidak perlu menyetorkan hasil perolehan zakat dan pajaknya kepada pemerintah pusat, cukup dikelola di masing-masing Baitul Maal di daerahnya masing-masing. Sebaliknya, pemerintah pusat wajib memberikan subsidi kepada daerah-daerah yang masih minim pendapatan zakat dan pajaknya. Sistem inilah yang digunakan oleh Umar Ibn Abdul Aziz dalam rangka menciptakan pemerataan ekonomi masyarakatnya.
Tak cukup dengan itu, ketika kondisi perekonomian sedang mengalami krisis yang membawa dampak terhadap keuangan negara, dan berakibat pada kemiskinan rakyatnya, maka Umar Ibn Abdul Aziz membuat kebijakan untuk tidak menarik pajak kepada masyarakat yang tak mampu untuk membayarnya.
Sebaliknya, negara akan menyantuni mereka dari hasil zakat kaum muslimin yang kaya. Keadaan perekonomian pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz pun telah mengalami loncatan yang menakjubkan.
Dasarnya, tidak lain adalah prinsip kebijakan yang melayani dan tidak memberatkan masyarakat, serta penataan kelembagaan yang profesional.