News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2019

Haruskah Itikaf di Masjid Dilaksanakan Selama 10 Hari Penuh di Bulan Ramadan? Intip Penjelasannya

Editor: Archieva Prisyta
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

H-5 Hari raya Idul Fitri, Minggu (12/07/2015) Masjid Dian Al-Mahri atau biasa dikenal dengan Masjid Kubah Emas yang berlokasi di Depok Jawa Barat dipadati para pengunjung. Tidak hanya orang orang dari daerah Depok, banyak juga pengunjung yang berasal dari daerah Jakarta, Bogor dan Bandung. Mereka datang dari daerah untuk melakukan iktikaf dan sholat tahajud bersama. (Photografi/Septyonaka Triwahyudi)

Apakah pelaksanakan iktikaf harus dilakukan 10 hari terakhir Bulan Ramadan atau bisa kurang?

TRIBUNNEWS.COM - Simak penjelasan mengenai pelaksanaan Itikaf di Masjid untuk meraih malam Lailatul Qadar, apakah harus full 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.

Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, banyak umat muslim yang menantikan datangnya malam Lailatul Qadar.

Umat muslim berusaha meraih keistimewaan Lailatul Qadar dengan meningkatkan ibadahnya, seperti melakukan Itikaf di Masjid.

Itikaf di Masjid hukumnya sunah muakkadah yang sangat efektif untuk taqarrub dan meraih Lailatul Qadar di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.

Kemudian kapan waktu terbaik pelaksanaan Itikaf untuk meraih Lailatul Qadar?

Haruskah dilaksanakan selama 10 hari penuh di akhir bulan Ramadhan?

Dikutip TribunStyle.com dari mediaumat, tidak ada dalil syar’i yang mewajibkan bahwa Itikaf itu lamanya harus 10 hari, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.

Bahkan beritikaf selama satu malam saja (tanpa siang harinya) dibenarkan oleh syara’.

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA :

“Bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, Umar berkata,’Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjidil Haram.’ Nabi Muhammad SAW bersabda,’Penuhilah nadzarmu!” (HR Bukhari, hadits no 2032, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ad-Daruquthni). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).

HALAMAN SELANJUTNYA -------------->

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini