Tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, KH. Mas Manshur dan lainnya bergabung bersama masyarakat untuk mempertahankan bangunan Masjid Al-Ma’mur.
“Tanah ini adalah tanah yang sudah diwakafkan Raden Saleh,” tegasnya.
“Atas perjuangan beliau-beliau, akhirnya kita dibuatkan sertifikat. Itu sejarahnya daripada tanah ini,” ujarnya.
Setelah pertentangan mereda, pada 1926 masyarakat Cikini Binatu bahu membahu melakukan pemugaran bangunan masjid.
Mereka mengumpulkan segenggam beras untuk kemudian dijual yang mana uang hasil penjualan beras lalu dikumpulkan untuk membiayai pemugaran.
Setelah beberapa kali mengalami pemugaran, Masjid Al-ma’mur lalu diresmikan oleh Agus Salim pada 1932.
Pada tahun 1962, bagian depan masjid diperlebar dengan bentuk menyerupai bangunan asli Masjid Al-Ma’mur yang lama.
Masjid ini memiliki sekitar 7 pintu utama, dengan 10 jendela yang kesemuanya asli memakai kayu jati dan dapat menampung 600 hingga 700 jamaah.
Syahlani bercerita, dari Menara Masjid, dulu orang bisa melihat Monas secara langsung hingga lapangan IKADA tempat Presiden Soekarno berpidato, karena belum banyak gedung tinggi.
Menara Masjid digunakan muadzin untuk mengumandangkan adzan jika masuk waktu shalat tanpa pengeras suara.
“Dulu speaker belum ada. Jadi (muadzin) teriak langsung memakai corong kaleng agar sampai kedengaran di kampung-kampung,” ujarnya.