Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais Binsyar) Kementerian Agama (Kemenag) Moh. Agus Salim mengatakan tradisi membangunkan sahur harus disampaikan dengan cara-cara yang santun, baik, dan sopan, agar keutamaan dan keberkahannya tetap terjaga.
“Membangunkan sahur itu adalah perbuatan baik, tapi juga perlu dilakukan dengan cara yang santun dan baik untuk menambah kualitas kebaikan itu sendiri," ujar Agus melalui keterangan tertulis, Minggu (25/4/2021).
Saat membangunkan sahur, perlu juga memperhatikan hak kepentingan pribadi orang lain.
Jangan sampai mengganggu hak-hak orang lain. Misalnya orang yang sedang sakit, punya bayi atau anak kecil, atau pun warga non muslim.
Baca juga: Temui Tetangga Dibalik Teriakan Sahur Lewat Toa Masjid, Zaskia Jadi Orang Pertama yang Beri Teguran
Baca juga: Cara Mudah Agar Lebih Semangat Belajar atau Bekerja Selama Puasa, Jangan Skip Sahur!
Hal ini menurut Agus Salim, sejalan dengan semangat moderasi beragama yang dalam beberapa tahun terakhir didengungkan Kemenag.
"Bahkan dalam diskursus moderasi agama tentu saja tidak hanya milik tradisi Islam, tapi juga untuk agama lainnya," tutur Agus.
Sementara itu, Pelaksana Subdirektorat Kemasjidan Fakhry Affan mengungkapkan, sejak tahun 1978 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama telah mengeluarkan tuntunan penggunaan pengeras suara.
Baca juga: Sudah Masuk Waktu Imsak, Boleh atau Tidak Melanjutkan Santap Sahur?
Instruksi tersebut tertuang dalam KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musalla.
“Takmir masjid juga harus tegas mengatur penggunaan alat pengeras suara atau Toa masjid, misalnya untuk membangunkan sahur pada pukul 02.30 - 03.00 dan 03.30, durasi penggunaannya cukup satu menit, dengan suara yang baik dan cara yang baik,” ujar Fakhry.
Menurut Fakhry, di sinilah pentingnya mengimplementasikan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin di tengah kompleksitas kehidupan keagamaan baik masyarakat perdesaan maupun perkotaan, sebagai jalan moderat yang diejawantahkan dalam Pancasila sebagai nilai-nilai moral publik.