Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Niko Ruru
TRIBUNNEWS.COM, NUNUKAN - Dibalik konflik bersenjata antara aparat keamanan Malaysia dengan sipil bersenjata Kesultanan Sulu di Kampung Tanduo, Lahad Datu, Sabah, Malaysia, ada mitos yang berkembang di kalangan masyarakat setempat.
Muhammad, salah seorang warga di Sabah mengatakan, sipil asal Filipina selatan itu sulit ditumpas karena mereka punya kekuatan mistik untuk menghilang, guna menghindari gempuran aparat yang menggunakan persenjataan berat.
"Mereka ini bisa menghilang. Macam waktu penyerangan itu hari, di sana ada ratusan orang. Tapi waktu dibom, yang mati cuma sembilan orang," ujarnya.
Kepala Perwakilan RI-Tawau Konsul Tawau Muhammad Soleh mengatakan, Lahad Datu memang sudah lama menjadi tempat kedatangan warga etnis Suluk dari Filipina.
"Kemudian ada segerombolan orang yang datang. Di media disebutkan 180 orang yang menamakan dirinya tentara Kesultanan Sulu. Itu 30 diantaranya, mereka menggunakan pakaian seperti militer dan membawa senjata," ujarnya saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Konsulat Republik Indonesia, Bangunan Liew Yun Fah, Batu 2,5 Sin Onn, Tawau, Sabah, Malaysia, Kamis (7/3/2013).
Ia mengatakan, melihat ada puluhan sipil bersenjata, warga lalu melaporkan kepada Polisi setempat. Polisi lalu melakukan negosiasi.
"Karena Lahad Datu memang tempat beristirahatnya dan tempat bertandangnya orang Sulu. Tapi mungkin kecurigaan karena mereka membawa senjata," ujarnya.
Dengan situasi tersebut, dimana lokasi konflik berada di perusahaan perkebunan Felda Sahabat 17, pihak perusahaan sejak 13 Februari sudah melakukan pengurangan kegiatan di sekitar kelompok yang bergerombol.
"Pihak perusahaan sudah mengetahui, karena itu disampaikan kepada kita. Padahal penyerangan 2 Maret. Mulai 12 Februari sudah pendekatan. Jadi ini negosiasi buntu, kemudian terjadi pengusiran secara paksa. Kita lihat perkembangan pascapengusiran. Soal TKI, kita kembalikan ke perusahaan. Mereka punya kontrak," ujarnya.