TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus penyerangan dan pembunuhan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta akan dibawa ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa jika pemerintah tidak mampu menuntaskan perkara tersebut dalam waktu tertentu. Pasalnya, peristiwa itu sudah mengancam keamanan rakyat.
"Kami akan pergi ke Jenewa PBB karena (penyerangan ini) membahayakan rakyat. Harus ada penyelesaian tuntas dan menyeluruh atas tindakan eksekusi itu," kata Thamrin Amal Tamagola mewakili Koalisi Tokoh dan Masyarakat Sipil saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (27/3/2013).
Selain Tamagola, mereka yang tergabung dalam koalisi di antaranya adalah Hendardi, Ikhrar Nusa Bakti, Otto Nur Abdullah, Bambang Widodo Umar, Haris Azhar, Al- Araf.
Pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bakti mengingatkan Pemerintah tak bisa menganggap remeh gerombolan penyerangan Lapas Cebongan, Sleman yang diduga dilakukan oknum militer.
"Pemerintah tidak bisa main-main dengan persoalan demikian. Bukan mustahil kelompok seperti ini melakukan hal jauh lebih rumit dan dahsyat," ujar Ikrar usai konferensi pers Koalisi Tokoh dan Masyarakat Sipil.
Ikrar mengaku belum mengetahui pasti siapa pelaku penyerangan lapas dengan merenggut empat korban jiwa dari tahanan. Tapi bila benar dilakukan pelaku dari institusi militer, kejadiannya bukan tidak mungkin akan lebih gawat.
Ia mencontohkan, bagaimana tahun 1965 di Indonesia terjadi warlords (panglima perang). Di mana para komandan militer di lapangan mengalami perpecahan dengan pucuk pimpinan militer di pusat. Mereka para komandan menjadi panglima perang di daerahnya.
Menurut situs wikipedia, Warlord adalah orang dengan kekuasaan sipil dan militer yang memegang kuasa penuh atas suatu daerah (subnational) karena memiliki pasukan tempur yang loyal kepada tokoh warlord (komandan/panglima perang) ketimbang otoritas pusat (negara). Era warlords kini terjadi di sejumlah kawasan di Afrika.
Mengutip pemikir politik Indonesia asal Amerika, Herbert Feith, Ikrar mengungkapkan demokrasi di Indonesia bakal berantakan ketika terjadi perpecahan di dalam tubuh tentara. Bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke jurang berdarah.
Menurutnya bisa saja dalam kasus penyerangan Lapas Cebongan, Pangdam Diponegoro yakin tidak ada anggotanya terlibat, karena bisa saja pelaku dari institusi lainnya. Tapi tidak menutup kemungkinan ada sempalan dari oknum TNI melakukan itu ada dasar kesetiakawanan.
"Anda bisa bayangkan kalau ada grup-grup kecil dalam kesatuan tertentu bisa melakukan opersi seperti ini? Itu jelas akan membahayakan negeri ini sendiri," terang Ikrar yang mengaku tidak mau berspekulasi apa benar pelaku penyerangan oknum militer.
Seperti diberitakan, gerombolan bersenjata api laras panjang, pistol, dan granat menyerang Lapas Cebongan, Sleman, DIY, Sabtu (23/3/2013). Awalnya, mereka mengaku dari Polda DI Yogyakarta sambil menunjukkan surat berkop polda. Mereka mengaku ingin membawa empat tersangka kasus pembunuhan Sersan Satu Santosa, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Hugo's Cafe, Selasa (19/3/2013).
Mereka mengancam meledakkan lapas ketika permintaan ditolak petugas lapas. Akhirnya, petugas membukakan pintu dan belasan orang memakai penutup muka masuk. Mereka menyeret petugas lapas menunjukkan empat tahanan yang dicari.
Empat tahanan tersebut akhirnya ditembak mati. Mereka, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait. Sebelum kabur, gerombolan tersebut juga membawa rekaman CCTV. Aksi itu hanya berlangsung 15 menit.
Awalnya, keempat tahanan tersebut ditahan di Polres Sleman, lalu dipindahkan ke Polda DI Yogyakarta tanggal 20 Maret. Pada Jumat 22 Maret 2013, mereka dipindahkan ke Lapas Cebongan. Sabtu (23/3) dini hari 'eksekusi' terjadi.
Kasus ini masih dalam penyelidikan Kepolisian. Hanya saja, Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso sudah membantah penembakan dilakukan anggota Kopassus. Kepala Seksi Intelijen Kopassus Grup-2 Kapten (Inf) Wahyu Yuniartoto juga membantah. Kompas/Tribunnews.com/Yogi