TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menolak Pasal Santet di masukkan dalam RUU KUHP.
"Santet itu kan masalah gaib. Tidak bisa didekati dengan yuridis formal dan alat buktinya tidak cukup untuk itu," ungkap Hasyim Muzadi.
Hasyim Muzadi mengatakan, untuk pembuktian juga diperlukan saksi-saksi.
"Misalnya tukang santet ditangkap, buktinya apa? Misalkan kalau pakai perewangan, bagaimana menghadirkan jin atau setannya sebagai saksi?" selorohnya.
Menurutnya, yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi santet adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat.
"Di agama ada bagaimana caranya orang bebas dari santet. Bagaimana menyembuhkan, itu saja yang disosialisasikan," jelas Hazyim Muzadi.
Sementara itu, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Solo, Helmy Ahmad Sakdillah menuding rencana dimasukkannya Pasal Santet ke RUU KUHP sebagai bentuk mata pencarian baru bagi para wakil rakyat.
Pasalnya, ilmu santet tidak bisa dibuktikan karena berhubungan dengan hal gaib.
"Sedangkan hukum di Indonesia itu untuk menentukan tersangka harus ada namannya korban, barang bukti, dan saksi. Santet hanya ada korban dan barang bukti, tak ada saksi," jelas Helmy.
Sedangkan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Ahmad Rofik mengakui jika Pasal Santet dipaksakan, dikhawatirkan akan menambahkan keruwetan dunia hukum kita. Karenanya, Rofik menyarankan agar wacana pasal santet dikesampingkan dari pemikiran wakil rakyat.
"Saya ingatkan kepada mereka yang ingin memasukan santet dalam ranah hukum, bahwa sesuatu yang tidak tampak hanya Allah yang mengetahuinya. Jadi manusia jangan-jangan coba-coba mengurusi itu, musyrik nanti. Saya sarankan janganlah kalau mau disahkan," paparnya.